Saturday 23 June 2007

Dewa

Mirah masih memaku tubuhnya, berkiblat pada gundukan tanah merah saat gelap mulai merambat menghapus jejak cahaya yang terhampar di tanah pekuburan. Isaknya sayup terdengar beriring lantunan doa yang menghempas dari bibirnya yang terus bergetar. Butiran air mata seakan tak pernah lelah menumpah, menyusuri tebing wajah yang dibalut duka. Mengalir terus, membasahi serangkai bunga mawar yang tergenggam erat di tangannya.
“Mengapa begitu cepat kau menutup kisahmu?” Bibir yang bergetar itu mengucap lirih seperti tengah berbisik pada angin yang memberaikan rambutnya. Perlahan ia menengadah, menghunus remang langit dengan tatapnya yang pasrah. Malam sedang menuju kesempurnaannya dengan menaburkan serpihan kelam yang mewabah. Awan berarak menelan gemintang dan sepenggal rembulan senja. Alam terpasung dalam diam. Tiba-tiba langit menghentak, meraung diiringi gemerlap yang melompat kemudian memuntahkan jutaan pilar gerimis yang memenjara, menikam tubuh Mirah yang tergores duka. Mirah seakan tak peduli dengan keangkeran malam dan membiarkan gerimis menusuk-nusuk kesedihan yang bersemayam.
“Kupersembahkan bunga mawar ini sebagai tanda bela sungkawa yang teramat dalam sekaligus untuk mewakili kata cinta yang terpendam dan belum sempat kuucapkan” Mirah bersimpuh meletakkan serangkai bunga mawar bersandar pada nisan yang telah kuyup oleh hujan. Tatapannya terus mengeja selarik nama yang tergores di ujung nisan kayu itu: Kasdi ibnu Kasdono. Entah kenapa nama itu selalu menggetarkan hatinya. Kasdi, lelaki kurus tukang sapu jalan itu telah merenggut hatinya, menorehkan seberkas harapan, mengubur perih dan dendam. Kasdi adalah satu-satunya lelaki yang singgah dan bersemayam di dalam hatinya dengan menabur serbuk cinta yang sebenarnya, tidak seperti para lelaki hidung belang yang mendatanginya demi segumpal kenikmatan. Mereka datang sebagai raja yang minta dilayani, disanjung dengan berjuta basa basi dan mereka pergi setelah meraup madunya, meninggalkan seloroh nakal, dengus nafas apek dan ceceran noda menjijikan. Kasdi begitu berbeda...dia begitu tulus, begitu apa adanya, begitu menghargai kehormatannya sebagai perempuan. Bahkan Kasdi mau menerima dirinya seutuhnya tanpa memedulikan lembaran hitam sejarah hidupnya. Sebagai pelacur kelas ekonomi, Mirah merasa menemukan dewa penolong yang akan membawanya hijrah dari comberan menuju istana para dewa. Dan dewa itu adalah Kasdi: seorang lelaki kurus tukang sapu jalan yang selalu bercerita tentang sepasang merpati yang terbang beriringan melintasi hamparan biru langit sambil bersenandung lagu kemesraan, melewati mendung kelam untuk meraih kedamaian sejati di antara dua telaga bening yang menghampar. Kasdi selalu mempesona dengan cerita-ceritanya, Kasdi benar-benar Dewa bagi Mirah. Tetapi sang dewa itu telah pergi, terbujur kaku, terpendam dalam keheningan.
Mirah merintih. Hatinya begitu tersayat. Dia menyesal karena selalu memungkiri rasa cintanya pada Kasdi hanya Karena Kasdi seorang tukang sapu jalan yang tidak mungkin mengubah ketidaknormalan hidupnya sebagai orang kere dan tercabik kehormatannya. Lelaki yang selama ini disepelekan dan dipandang sebelah mata itu telah mengorbankan nyawa yang melekat di tubuhnya demi membela harga dirinya, harga diri seorang pelacur kotor seperti dia. Mirah memekik meratapi kebodohan dan penyesalannya, tetapi sia-sia penyesalannya terlambat. Orang yang begitu mencintainya telah menyatu dengan tanah, telah terkubur jauh dalam jurang ketiadaan yang gulita. Kali ini Mirah menjerit.....
Hujan makin deras, meraung seperti mesin jahit, mengguyur tubuh Mirah yang menggigil. Angin berhamburan seperti sedang berebut, menyela di antara daun pohon kamboja, meninggalkan aroma mistis yang menyergap.
“Kekasihku. Aku tahu siapa yang telah membuatmu begini, yang membuatmu membisu selamanya, yang telah memisahkan kita, yang telah menghancurkan kedamaian sepasang merpati yang terbang melintasi langit biru. Tidur yang manis, sayang. Aku akan pergi sebentar, aku harus meminta pertanggungjawaban pembuat malapetaka ini. Tunggulah disini, kekasihku. Aku segera kembali untuk menemani tidurmu malam ini.”
Perlahan Marsih bangkit dan beranjak pergi membawa duka dan dendam yang menjejal di dadanya. Kelebat petir mengiris gelap meninggalkan jerit alam yang telanjang, mengiringi langkah Mirah yang tersaruk payah.

No comments: