Friday 22 June 2007

Erotism


Masyarakat seringkali mengalami keterbelahan persepsi saat ‘dimohon’ untuk menilai erotisme ataupun segala bentuk sensualitas; antara setuju dan tidak setuju. Keterbelahan itu terpolarisasi dalam dua kubu yang sama-sama berusaha mengusung idealismenya. Sebagian masyarakat memandang erotisme sebagai fenomena artistik yang harus direspon secara apresiatif. Erotisme dianggap sebagai puncak pencapaian estetis yang ditampilkan melalui eksploitasi sensualitas tubuh (wanita). Dalam konteks ini erotisme tidak dapat divonis sebagai bentuk pornografi, melainkan sebuah ikon yang integral dalam dunia seni yang harus dinikmati secara sadar dan legal tanpa ada intervensi fantastis ataupun segala macam pikiran ‘ngeres’ yang mengendap dalam batok kepala siapapun yang memelototinya.
Sementara, sebagian yang lain, yang mengecam erotisme akan mengkonfrontasikannya dengan nalar etik moralitas dan dalil-dalil normativitas agama. Dalam asumsi mereka, erotisme dianggap sebagai fenomena yang menindas nilai-nilai moralitas dan religiusitas serta dapat mengarah pada terjadinya degradasi dan dekadensi moral (manusia). Kelompok ini juga mempertanyakan sikap para pekerja seni atau siapapun yang terlalu berkompromi dengan eksibisi erotik sehingga menyebabkan batas antara seni dan pornografi menjadi kabur dan sulit didefinisikan.
Melihat kontroversi dua kelompok tersebut, sebaiknya memang harus dicari suatu ‘formulasi’ untuk menjembatani perseturuan yang terus menggapai titik kulminasinya. Setidaknya perlu ada upaya penelusuran terhadap akar permasalahan sehingga diperoleh konsensi dan objektivitas serta kearifan dalam menentukan garis demarkasi antara erotisme yang masih dapat dima’fu dan yang sudah mengancam harga diri kemanusiaan.
Konon, erotisme sedang mengalami proses komodifikasi. Erotisme dijadikan komoditas yang bernilai jual tinggi. Erotisme sengaja diciptakan, di’produce’, dibiakkan secara masif untuk menghegemoni persepsi masyarakat sehingga mereka (masyarakat) akan menganggap erotisme (dan saudara-saudaranya) sebagai sebuah keniscayaan sejarah..
Sebagai sebuah komoditas, erotisme memerlukan ‘tumbal-tumbal’ yang dijadikan sumber inspirasi sekaligus objek untuk menambah nilai jual agar lebih marketable. Maka dibuatlah tim 'pencari bakat' yang menyebar ke sudut desa. Mencari 'barang mentah' yang akan dipoles sedemikian rupa menjadi barang komoditas yang punya nilai jual selangit. Gadis-gadis lugu pun dirayu, digombali, diberi bunga-bunga harapan yang memabukkan.


Gadis-gadis manis itupun -akhirnya- jadi terbiasa membuka bajunya di depan kamera, mempertontonkan separuh buah sorga yang seharusnya ditutup rapat (agar membuat penasaran). Bahkan sebagian dari mereka ada yang berani menanggalkan seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya kemudian menggeliat-geliat, menyuguhkan tubuh toplesnya di hadapan ratusan pasang mata. Sekali lagi mereka hanyalah boneka yang dipajang di dalam etalase bisnis demi pemenuhan hasrat kapitalistik segelintir manusia.
Saudara-saudara kita yang terlalu berani itu tidak dapat kita salahkan. Kita tidak berhak menusuk mereka dengan sejuta serapah. Mereka hanya belum mampu memilih alternatif terbaik dalam menyikapi hidup. Mereka terlalu ‘pengap’ menghadapi realitas hidup yang memaksa mereka untuk mencari jalan pintas. Dan kesempatan itu ada. Beberapa orang yang terlalu ‘kreatif’ memberi peluang kepada mereka untuk meniti karir sebagai bintang porno. Kemudian kamera dibidikkan. Tanpa rasa sungkan, gadis-gadis itu melucuti pakaian kemanusiaannya. Dibiarkannya puluhan pasang mata menelusuri lekuk tubuhnya. Sekarang tak ada lagi yang rahasia dari tubuhnya. Kerakusan kapitalistik telah memaksa mereka menyingkap segala yang tersembunyi. Bahkan, jika perlu gadis-gadis itu dirayu agar tidak hanya menyuguhkan tubuhnya, tapi juga mempertontonkan jeroan-jeroan di dalam perutnya.....


Busyeeeettt!!!


6 comments:

"CAHAYA" said...

Suka nonton juga yaaaaa :)

Anonymous said...

Erotisme sengaja diciptakan, di’produce’ krn ada demand dari para penikmatnya. Anda jugakah ?

alinea said...

Kadang2. Tidak untuk menikmati, tapi untuk belajar utk suatu saat aku tdk begitu terpukau dengan segala yg erotis....:)

Anonymous said...

Saya sangat yakin anda hanya "belajar". Belajar disini saya artikan sebagai "(hanya) mencari pengalaman (bukan?)".

alinea said...

hehehe......pengalaman adl guru yg sangat bijak. Kdg kearifan muncul dr kubangan rasa sesal di lubuk sejarah......

Anonymous said...

Mudah2an njenengan tidak dengan mudahnya menggunakan kata "hanya mencari pengalaman saja" sebagai alasan "mengkonsumsi" sesuatu *peace*