Friday 22 June 2007

Gangga

Sentanu tertegun demi memergoki sesosok jelita di tepi Gangga. Hatinya semakin gaduh sesaat setelah sekelebat senyum sang gadis menikamnya. Gadis itu -sebenarnya- adalah penjelmaan Batari Gangga yang menapak ke mayapada untuk menebus dosa para Wasu. Mungkin karena getar cinta. Atau mungkin tersebab daya pesona sang dewi yang agung, Sentanu serta merta jatuh hati. Di tepi sungai Gangga yang hening, Sentanu mengucap ikrar cintanya. Sang dewi tak menampik. Tapi cinta tak selamanya bebas nilai. Ia menyimpan syarat yang harus ditaati. Dan Sentanu, Raja yang tengah dimabuk cinta itu, tak kuasa menolak segala persyatatan yang diajukan sang dewi.
Kini setelah hampir sewindu, Sentanu baru menyadari kealpaannya. Ada yang mesti digugat dari perjanjian di tepi Gangga itu. Raja itu masygul. Sesuatu yang ganjil telah terjadi. Di sebuah pagi yang belia, Gangga, istrinya yang tengah mengandung benihnya pergi ke tepi sungai. Sentanu ingin mencegah. Memprotes. Tapi janji itu terngiang. Seperti suara yang terus menodong. Maka dia cepat-cepat meringkus kegundahannya. Disambutnya sang permaisuri yang kembali tanpa seorang bayi. Tujuh kali kehamilan Gangga selalu berakhir dengan sesuatu yang rahasia. Tak mampu dimengerti.
Persis sewindu ketika Dewi Gangga hamil untuk kali kedelapan, Sentanu memberanikan diri mengikuti permaisurinya menyusuri tepi sungai. Dia ingin menguak rahasia; dia menafikan janji yang sudah diucapkan. Ada sesuatu yang memiriskan hatinya. Beberapa langkah di depannya, di bawah sebatang pohon di tepi Gangga, istrinya tengah menimang seorang bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi yang sangat tampan. Di balik rimbun semak, sebersit bahagia melintas di dada Sentanu. Tapi kebahagiaan itu serta merta sirna saat istrinya bersiap menghanyutkan si jabang bayi. Sentanu sontak melompat menghampiri dewi Gangga dengan kemarahan yang buncah. Dan raja itu tahu, dia sudah melanggar sumpahnya untuk tidak pernah mempertanyakan, apalagi memprotes apapun yang dilakukan dewi Gangga.
Sentanu hanya termangu. Dia telah melanggar sumpahnya. Dan permaisurinya, Dewi Gangga, terbang kembali ke kahyangan bersama anaknya. Dan kelak kita tahu, anak itu akan menjadi ksatria perkasa yang kekuatannya tiada tanding. Dialah Bhisma yang sumpahnya demi kebahagiaan sang ayah, Sentanu, meggetarkan langit. Dia juga ksatria yang paling sedih ketika menyaksikan para keturunan Barata, Pandawa dan Kurawa, saling bunuh di padang Kurusetra. Di padang itu juga lah, Bhisma meregang nyawa setelah ribuan anak panah mencacah tubuhnya.
Seandainya Sentanu, di tepi Gangga itu tidak mencegah istrinya membuang bayinya yang kedelapan, mungkin kisah Mahabarata yang masyhur itu tidak akan memukau. Sebab kisah itu akan kehilangan tokohnya yang paling luar biasa: Bhisma. Terima kasih Sentanu.........

1 comment:

"CAHAYA" said...

Emang cerita MAhabaratha paling sip kok Al. Sampai sekarang aku belum bosen bacanya