Tuesday 23 October 2007

Senja


Istriku, kemarilah. Duduklah di sampingku. Aku ingin mengajakmu menikmati senja yang hampir bertamu. Dengan secangkir teh panas dan surat kabar sore ini. Banyak berita menarik hari ini, istriku. Tentu kau tak sempat membacanya. Kau sudah cukup disibukkan oleh kehadiran buah cinta kita. Kau sangat menikmati peran barumu sebagai seorang ibu. Tak ada yang lebih mempesonakanmu dari sorot putra kita.

Istriku, dekatkan telingamu. Akan kubacakan perlahan berita-berita hangat hari ini. Tentu kau tidak tahu, jauh di seberang negeri ini tengah terjadi huru hara. Ribuan biksu dengan jubah merah ranum tengah menuntut perubahan. Suara mereka lantang menggugat kesewenangan para penguasa negeri. Suara-suara itu terus melengking. Bersaing dengan desing peluru tajam yang dimuntahkan. Beberapa di antara mereka rubuh. Jubah-jubah itu semakin merah. Basah.

Istriku, kenapa kau menangis (?) Baiklah, aku takkan lagi membaca berita penuh darah ini. Aku lupa jika hatimu sangat perasa. Kau selalu menangis setiap mendengar kematian. Biarlah kuusap air matamu. Sudah sangat lama aku tidak melakukannya. Kadang muncul kerinduan melihat butiran bening itu menyusuri lekuk wajah ayumu. Seperti sore setahun silam, ketika kau melihat burung gagak bertengger di ubung-ubung. Kau menangis. Kau takut melihat isyarat kematian itu.

Istriku, kini aku yang tak bisa membendung air mata. Hatiku poranda menatap wajahmu yang diam. Senyummu yang beku. Kuciumi sebentuk keindahan yang bertabur wangi pandan itu. Seketika hampa mewabah saat keranda mengusung tubuhmu yang kaku. Rasanya baru kemarin di senja itu, saat kita duduk berdua di beranda. Menikmati secangkir teh panas dan surat kabar sore.

Istriku, kemarilah. Duduklah di sampingku. Menikmati senja yang hampir berlabuh dengan secangkir teh panas dan surat kabar hari ini. Banyak berita menarik hari ini, istriku. Tentu kau tak sempat membacanya.......

(untuk seorang karib)
pogung, Oktober 2007

Raut


Aku menemukan selembar wajahmu tergeletak di serambi mushola. Di senja itu, ketika Desember hampir merampungkan tugasnya. Wajahmu yang pualam seperti lukisan Cina yang menawan. Juga tatapmu yang cokelat bening seperti menyimpan jutaan keajaiban. Kulipat wajahmu, kusimpan dengan hati-hati di dalam laci terkunci. Kau selalu mengusung senyum setiapkali aku membuka laci dan memungut wajahmu kembali. Gila!! aku terpekik. Wajahmu semakin bertambah ayu. Kini tak hanya pualam, tapi juga bertabur salju. Diam-diam aku jatuh cinta padamu, tapi aku malu untuk mengakuinya. Dirimu terlalu agung, aku tak mampu menemukan kata yang paling jitu untuk mewakili hasratku.
Aku putuskan untuk memasang wajahmu di dinding kamarku. Aku gantungkan di antara rak-rak buku yang menjulang. Kamu tampak paling mempesona di antara puluhan hiasan kamarku. Sebenarnya ingin sekali aku membawa wajahmu ke kantor agar teman-teman sekerjaku juga menyaksikan keindahanmu. Tetapi aku kuatir mereka juga akan jatuh cinta padamu. Kemudian mencurimu dariku.

*****
Aku kerap tergeragap bangun saat malam memuncak. Aku merasa ada suara yang berbisik. Sangat pelan. Tapi suara itu mendadak bungkam saat aku berusaha melacaknya. Tiba2 suara itu kembali hadir saat aku berusaha menutup mata. Kali ini tidak sekedar bisik, tapi sangat jelas merasuk telinga. “Pasti kau ingin tahu siapa aku!?” suara itu begitu jernih. Hatiku sontak. Ternyata wajahmu sedang mengajakku bicara. Kulihat wajahmu tersenyum puas melihat kekagetanku.
“Kenapa kau begitu terpesona padaku?”
“kamu cantik!”
“Cuma itu?”
“kamu istimewa”
“apanya?”
“semuanya”
“Kamu mencintaiku?”
“aku tak berani”
“kenapa?”
“karena kamu cantik dan istimewa!”
Kulihat wajahmu terbahak. Begitu keras sampai tembok kamarku terguncang. Mendadak kau diam. Geming dan kaku. Kembali menjadi selembar wajah yang tergantung di antara rak-rak buku yang menjulang.

Friday 5 October 2007

Fermentasi

Ramadhan adalah proses fermentasi hakikat kemanusiaan kita. Seandainya Ramadhan sanggup kita kuak rahasianya maka kita akan mengalami transformasi dari singkong menuju tape. Perubahan dari wadag (kasar) menjadi ruh (halus). Alloh yang Maha Lembut akan mengajari makhlukNya selama sebulan penuh melalui pelatihan intensif simulasi peragian kepribadian. Sehingga saat Lebaran tiba -sebagai muara perjalanan Ramadhan- kita menjelma bayi yang bersih tanpa goresan noda. Kita akan menjadi manusia baru dengan onderdil kemanusiaan yang halus dan mulus (original). Kita akan bertolak memulai tugas kemanusiaan dengan berperan sebagai makhluk yang di dalam tubuhnya mengandung partikel-partikel kelembutan dan kasih sayang. Manusia yang sudah di-tape-kan dari ke-singkong-annya.

Tentu tidak semua singkong berhasil berfermentasi menjadi tape. Banyak yang tetap ngotot dengan kesingkongannya. Tidak sedikit yang konsisten dengan badan kasarnya. Kesuksesan proses ini tergantung pada tingkat akurasi takaran ragi yang digunakan dalam proses pentapean itu. Sebab antara singkong dan tape terbentang jarak ribuan mil yang hanya bisa direngkuh dengan kesediaan kita untuk mengikuti turorial yang dirancang Alloh. Alloh sudah menyediakan kurikulum yang sangat mumpuni tentang pola peribadatan selama Ramadhan. Yang memungkinkan makhlukNya mampu menjalani ritus peragian secara baik dan benar tanpa tersaruk kesalahan-kesalahan teknis. Formulasi fermentasi Ramadhan akan menghasilkan kualitas tape yang beragam dimana derajat keempukan dan kelembutannya menjadi tolok ukur kesungguhan hati manusia dalam mengamini titah Alloh.

Di bulan mulia ini manusia, terutama golongan alladzina amanuu, dititahi oleh Alloh untuk merasakan ”penderitaan” puasa. Puasa adalah kesanggupan makhluk untuk menolak sesuatu yang sebenarnya menjadi haknya. Men”tidak” an sesuatu yang seharusnya di”Iya”kan. Tersebab puasa, makanan yang berlalulalang di depan hidung kita harus ditolak dan diharamkan. Kita tolak kehalalan dan haknya untuk masuk ke dalam tubuh kita. Istri yang kita nikahi secara sah dan halal kita ”cangkuli” kapanpun menjadi haram kita ’pergauli’ selama perjalanan puasa. Selain itu, puasa juga merupakan kesanggupan untuk menahan diri dari semesta tradisi melepaslampiaskan. Konteks puasa meniscayakan makhluk untuk berani mencukupkan pemenuhan hasrat sebelum sampai pada titik kulminasi orgasmus. Dengan demikian puasa akan menjadi pembelajaran penting bagi manusia dalam rangka menuju peristiwa makan sejati sebagaimana dianjurkan Kanjeng Nabi Muhammad:”Makanlah ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang!”. Nasihat sang nabi ini –seharusnya- berlaku dalam segala dimensi pergaulan hidup manusia yang kerap menyisipkan kemungkinan untuk saling memakan.

Di bulan suci ini Alloh sangat royal dengan cintaNya (ar Rahman). Di salah satu malamnya Alloh mengutus secara kolosal (tanazzal) para malaikatNya di bawah komando Paduka Jibril menyambangi pelataran dunia. Mereka mengemban amanat Alloh untuk menebar bermilyar-milyar rahmatNya ke muka bumi. Hanya hamba-hamba yang memiliki receiver canggih yang mampu menjumpai moment ini serta menjaring hamburan rahmat yang melayang-layang di atas ubun-ubun kesadarannya. Sepanjang Ramadhan Alloh yang Maha Gaib (alBathin) juga tak segan-segan membuka pintu-pintu rahasiaNya agar manusia mampu menemukan cahaya illahiyyah. Nuur yang akan membebaskan manusia dari gulita dan ketersesatan yang selalu menyerimpung langkah mereka menuju orientasi kesalehan hidup.

Begitu luar biasanya Ramadhan sehingga kedatangannya selalu dinanti-nantikan. Dia sejenis oase yang menyemburat di tengah padang gersang kehidupan manusia. Ramadhan menjadi semacam interupsi dari hilir mudik kesibukan manusia dalam menguntit dan memesrai dunia. Tak heran jika kehadirannya disambut dengan gempita sekaligus kikuk. Tapi sayang, setiap kali bulan ini hadir, orang-orang hanya disibukkan dengan formalitas upacara-upacara penyambutan. Tiba-tiba Ramadhan di kebiri perannya menjadi sekedar peluit isyarat agar orang-orang bangun di malam hari (sahur), menempuh perjalanan puasa sampai Maghrib menjelang; Ramadhan dipaksa tunduk pada ego kemanjaan manusia. Ramadhan menjadi wanti-wanti agar warung-warung makanan harus tutup di siang hari sebab kuatir pada ahli ibadah –puasa- lumer imannya demi memergoki sepiring nasi. Sebagian dari saudara kita –bahkan- tak segan melakukan sweaping terhadap segala sesuatu yang memungkinkan mengganggu kekhusyukan ibadah di Bulan suci ini. Akhirnya Ramadhan hanya tereduksi menjadi ruang ibadah yang soliter. Seperti sirkuit yang memacu hasrat perlombaan akumulasi pahala personal dengan menafikan kewajiban dan kesadaran profan.

Fermentasi Ramadhan tidak hanya melahirkan ”tape” kesalehan individual, tetapi juga memproduce kepekaan sosial dan kesediaan untuk saling berbagi. ”Penderitaan” yang dirasakan selama Ramadhan harus menjadi etos substansial yang mereproduksi –secara konstan- rasa empati dan tanggung jawab sosial. Manusia tape pasca Ramadhan adalah manusia dua dimensi yang berusaha menangkap isi hati Alloh di satu sisi, dan menyediakan ruang batinnya untuk menampung penderitaan manusia lain. Meskipun Alloh telah mengklaim puasa (Ramadhan) sebagai hakNya, sesungguhnya Alloh tidak possesif dengan ibadah hamba-hambaNya itu. Dia sudah teramat kaya dan tidak butuh sokongan upeti ibadah dari siapapun. Sikap itu merupakan wujud keseriusan Alloh mengajari para makhlukNya untuk menghikmahi penderitaan sebagai ladang persemaian benih cinta dan kasih sayang terhadap yang lain.
Wallohu’alam

Pogung, Ramadhan 1428

Tuesday 2 October 2007

Sunyi

Aku mengembara. Menyusuri remang sunyi. Sendiri. Membawa remuk redam hatiku dan luka basah yang menganga. Aku lelah menghadapi manusia-manusia bebal berhati batu. Yang selalu menghadirkan Iblis di tengah lalulintas peredaran darahku. Sungguh, dia selalu anak-anak dalam kerentaannya. Selalu bocah dalam ketuaannya. Perasaan dan nuraninya adalah gumpalan salju beku. Kaku.