Saturday 31 May 2008

Jangan kau

Jangan kau tanyakan, seberapa besar cintaku padamu
Sebab malaikat pun akan terperangah jika mendengar jawabanku
Jangan kau tanyakan seberapa kuat kasihku padamu
Sebab besi baja pun akan lunglai jika mengetahui
Jangan kau coba-coba menyangsikan cintaku
Sebab kau akan menjadi menusia paling merugi jika meragukan ketulusanku.....
Jangan kau......

Friday 25 April 2008

R e n a (2)







Senja setelah gerimis mereda selalu menorehkan cekam. Juga saat itu ketika kabut pekat bergulung turun meringkus kota. Senja serasa begitu angker dan asing. Wajahnya yang temeram menghembuskan selaksa dingin yang menusuk. Hawa itu terus menjalar menggerayangi labirin kota. Sekeluarga gelandangan saling berdekapan berlindung pada selembar selimut apak ketika dingin menghampir.
Rena menggigil di sampingku. Mulutnya sibuk mengunyah butiran kacang rebus. Dia nampak anggun dalam balutan sweater merah kirmizy dan rambut legam yang dibiarkan tumpah. Sesekali angin memburaikan rambutnya. Berkibaran laksana bendera yang diikatkan di pucuk bambu. Seperti biasa Rena selalu mempesonaku dengan cerita-cerita yang tak pernah pungkas. Aku selalu menjadi jamaat sholat Jumat yang akan patuh menyimak pidato sang khatib. Dan khatib di sampingku tengah berapi-api berkisah tentang kabut, tentang malam, tentang sepi, dengan mulut dipenuhi kacang rebus.
“kau tahu mengapa kabut turun menyelimuti kota ini?”
“entahlah”
Rena tertawa. Beberapa butir kacang berhamburan
“karena kabut bersekongkol dengan para pendosa! Dia sengaja menutupi mereka yang mengumbar syahwat di sudut-sudut kota ini”
Aku terpana. Membiarkan sang khatib meneruskan khotbahnya.
“Dan kita harus berterima kasih pada kabut…”
“kenapa?”
“Karena dia juga menyembunyikan kemunafikan kita. Dia seperti layar putih dalam pentas wayang kulit. Kita menjadi siluet-siluet hitam yang memantul di dinding layar. Siluet kadang hanya sekedar bayang samar yang sama sekali mengingkari raut kita yang sebenarnya. Warna kita..”
Oh, Renaku…dimana kamu pungut kata-kata itu. Apakah kau menemukannya di serpihan sampah yang kau kais setiap hari. Seharusnya pandangan filosofismu tentang kabut disuarakan di ruang kelas yang mungkin hanya ada dalam mimpimu………
Hampir lima jam aku merelakan telingaku dijejali pidato Rena. Aku yakin gadis itu sudah ditindas kantuk. Matanya merah dan berkilat. Tapi dia menolak saat kuajak pulang. Dia ingin melahap malam sampai matahari datang menukarnya dengan pagi. Sesekali tubuhnya terhuyung saat kami melangkah menyusuri lorong kota.
Malam semakin klimaks. Kami duduk di emper toko yang sudah terlelap. Dari sana kami bisa mendapat sudut pandang paling jernih menikmati detak kota. Deretan becak yang sudah beralih fungsi menjadi peraduan, gelandangan yang bingung mencari celah untuk rebah, juga hilir mudik pejalan kaki dengan langkah gegas. Mungkin mereka sama seperti kami. Orang-orang yang tak ingin kehilangan malam.
Berkali-kali Rena menguap sampai akhirnya dewa mimpi merasuk ke dalam dirinya. Aku pandangi wajah yang pulas itu. Kecantikannya semakin memancar saat lelap. Bibir itu mendesis perlahan seperti tengah berbisik. Tiba-tiba tubuhku luruh dihisap oleh kekuatan dahsyat. Melayang seperti kapuk yang diburaikan dari randu. Sesaat pandanganku enyah. Pekat. Kemudian muncul kerlap-kerlip lampu. Berkejap-kejap silih berganti. Terus menerus. Aku hanyut dalam rutinitas itu. Sampai akhirnya kutemukan sosok Rena pada kerlip terakhir. Dia tajam menatapku. Aku tergeragap ketika tiba-tiba dia menyentuh pipiku. Seketika benderang menikamku.
“Mas, bangun!” kudengar suara Rena tepat di telingaku
“Ssst….ternyata semalam kabut bergegas pergi dari kota. Orang-orang tak mampu menutupi dosa mereka lagi…..”


Pogung, 25 April 2008

Saturday 12 April 2008

R e n a (1)


Rena menyongsongku dengan riuh. Senyumnya renyah mengembang. Rambutnya yang legam seperti arang yang diguriskan dengan tajam. Jatuh menyusuri pundak dan ruah di punggungnya yang sedikit bungkuk. Beberapa helai meliuk-liuk menggelitik pipinya yang merona. Merah yang malu-malu. Tubuh itu semakin tipis. Terbalut daster kusam bermotif kembang cempaka. Tiba-tiba hatiku nelangsa memergoki tatapannya yang kosong. Lingkaran kecoklatan menggelayut di sekeliling matanya. Tanda rasa lelah yang menggerogot. Lama sekali kunikmati pesona itu. Tak terasa, beberapa butiran bening meleleh.

Rena, gadis yang kutemui di ujung malam itu telah merenggut hatiku. Tanpa sengaja kami berkenalan di tengah kepungan gerimis. Gadis itu seperti datang dari lorong malam yang legam. Hadir di sisiku, berpayung jaket parasut kumal. Mungkin karena dingin yang menusuk atau -mungkin juga- karena angin malam yang mengangkut desir birahi, aku tersihir oleh raut ayu gadis itu. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk mencintainya. Gadis itu tak menampik. Sampai saat ini, setiap malam hampar usai, aku selalu merasa dirongrong oleh kerinduan pada senyum tertahannya. Juga anggukan perlahan wajahnya saat mengiyakan hasratku. Di tengah gulungan kabut, tangan kami saling merekat, menyambut buncahan mentari yang datang terlambat pagi itu.

Rena berlari-lari kecil ke arahku. Tangannya langsung merenggut sebungkus martabak telor yang kujinjing. Kami duduk di bangku rotan di depan kamar kontrakannya. Menikmati pesona bulan sabit tanggal tujuh yang timbul tenggelam dalam gemawan hitam. Penggal lingkaran kecil itu seperti senyum yang tak pernah putus. Mungkin geli menyaksikan kami saling berebut martabak. Saat-saat seperti ini yang kurindukan. Rena telah mengubah segalanya. Dia harta karun yang aku buru selama ini. Dan keindahan itu kini bergelayut manja di pundakku setelah kekenyangan menyantap enam potong martabak. Ingin sekali kuusap rambut kelamnya, membelainya dengan santun. Tapi tiba-tiba bulan sabit nongol di antara rimbun daun mahoni di depan kamar Rena. Dia terbahak, mungkin menertawakan ketidakberanianku…..

Gejayan, 14 April 2008

Thursday 24 January 2008

Salam(an)

Salaman adalah sebuah percakapan. Dia tidak sekedar pertautan dua belah tangan, tapi –di dalamnya – menyimpan transaksi. Sesuatu yang diperdebatkan untuk menuju mufakat. Sebab di setiap peristiwa baku genggam itu tersirat persetujuan dari sebuah “persekongkolan” yang tersembunyi. Itulah sebabnya kadang terselip bimbang sebelum seseorang mengulurkan tangan untuk berjabat. Mungkin menghitung-hitung. Menakar untung rugi.

Salaman bisa berlangsung dimana saja. Tapi tidak di sebuah terminal yang sepi ketika malam hendak menjemput pagi. Seorang gadis duduk di bangku panjang. Di dekat pilar angkuh yang kusam. Wajahnya pias digerogoti lelah yang parah. Kardus bekas bungkus mie instan terbaring pulas di pangkuannya. Dia tidak menyadari, beberapa langkah dari tempatnya, seorang pemuda menatap. Mungkin ada gurisan jelita di wajah sang gadis yang membuat pemuda itu enggan beranjak. Dia ingin bersalaman. Mengucap nama dan berharap keakraban terjadi. Tapi sang pemuda geming. Dia memilih diam. Selalu terbit kikuk, juga bimbang sebelum seseorang memutuskan untuk mengulurkan tangan, bersalaman. Sehingga percakapan itu tak pernah terjadi. Keduanya terbenam sepi.

Salaman –seperti keinginan sang pemuda- kerap dijadikan prolog dan –sekaligus- epilog dalam setiap perjumpaan. Gerbang awal sebelum identitas diungkap. Jarak disublim. Agar yang akrab terjadi. Kemudian hasrat dipertukarkan. “Persekongkolan” dimulai. Oleh karenanya seseorang harus mengambil inisiatif, juga keberanian untuk menentukan momentum saat tangan harus diulurkan dan secercah senyum dihempaskan. Sebagai sebuah titik mulai. Titik berangkat yang tegas.

Salaman juga sebuah simbol: keakraban, kesepakatan atau juga mungkin sekedar basa-basi yang teatrikal. Seperti di suatu hari, kita terpesona dengan sebuah tayangan TV yang menampilkan 2 tokoh yang negaranya saling berperang. Keduanya duduk sopan mengapit seorang “juru damai”. Mereka sedang berunding menuju titik damai agar perang bisa dipungkasi. Pembantaian warga tak berdosa segera dihentikan. Akhirnya kata sepakat tercapai. Mereka menebar senyum. Tangan mereka bertautan saling berjabat tangan di tengah berondongan lampu kamera yang silau. Namun, kata damai tak cukup di ruang megah itu. Sebab beberapa mil dari tempat mereka bersalaman, di sudut-sudut negara yang sedang mereka wakili, desing peluru masih menderu. Bersaing dengan lengkingan menyayat dan simbah darah yang buncah. Dan kita tahu, salaman para elit hanya menjadi parodi yang menyimpan getir.

Lebih dari semua itu, bagi orang muslim (mungkin juga seluruh makhluk penghuni kosmos), salaman adalah lampah yang dianjurkan. Nabi Muhammad, puluhan abad silam, menegaskannya:
“Jika dua orang umatku saling berjabat tangan, maka malaikat berdoa kepada Alloh agar dosa keduanya diampuni sebelum mereka saling melepas tangan”
Salaman, dengan akar kata ‘salam’ yang bisa dimaknai sebagai keselamatan adalah sebuah maklumat. Sebuah janji untuk menjamin keselamatan –juga spirit memaafkan- pada yang lain. Kita bisa saksikan di hari lebaran, hampir sepanjang hari kita bersalaman. Tangan kita begitu ringan untuk memungut tangan orang lain. Kita genggam dengan sepenuh hati dan ikrar maaf tanpa henti mengalir. Sebagian kita ciumi punggung tangannya. Di hari itu, salaman bukan sekedar percakapan, tapi sebuah arena pengampunan kolektif.

Akan tetapi salaman juga memiliki antitesis. Tidak semua orang sepakat dengan salaman. Ada rasa miris menohok saat kita menjumpai orang-orang yang mengaku umat Muhammad, tapi menganggap salaman sebagai sebuah anomali. Sesuatu yang menyimpang. Bid’ah yang sesat. Bahkan ada yang langsung bersuci demi bersalaman dengan “orang lain”. Sebab –dalam kamus mereka- yang lain adalah sejenis najis yang bisa membatalkan. Seorang kawan pernah bercerita tentang pertengkaran yang tersulut tersebab uluran tangan yang ditampik. Diam-diam kebencian bersemi. Sesuatu yang bathil direncanakan.

Mereka yang menerima maupun yang menampik uluran tangan sama-sama menyadari bahwa salaman adalah sebuah percakapan. Membutuhkan dialektika. Yang tidak serta merta bermuara pada kata sepakat. Sehingga orang akan menimbang-nimbang sebelum memutuskan untuk bersalaman. Menghitung-hitung. Menakar untung rugi.


Madrasah Sunyi, Januari 2008