Thursday 24 January 2008

Salam(an)

Salaman adalah sebuah percakapan. Dia tidak sekedar pertautan dua belah tangan, tapi –di dalamnya – menyimpan transaksi. Sesuatu yang diperdebatkan untuk menuju mufakat. Sebab di setiap peristiwa baku genggam itu tersirat persetujuan dari sebuah “persekongkolan” yang tersembunyi. Itulah sebabnya kadang terselip bimbang sebelum seseorang mengulurkan tangan untuk berjabat. Mungkin menghitung-hitung. Menakar untung rugi.

Salaman bisa berlangsung dimana saja. Tapi tidak di sebuah terminal yang sepi ketika malam hendak menjemput pagi. Seorang gadis duduk di bangku panjang. Di dekat pilar angkuh yang kusam. Wajahnya pias digerogoti lelah yang parah. Kardus bekas bungkus mie instan terbaring pulas di pangkuannya. Dia tidak menyadari, beberapa langkah dari tempatnya, seorang pemuda menatap. Mungkin ada gurisan jelita di wajah sang gadis yang membuat pemuda itu enggan beranjak. Dia ingin bersalaman. Mengucap nama dan berharap keakraban terjadi. Tapi sang pemuda geming. Dia memilih diam. Selalu terbit kikuk, juga bimbang sebelum seseorang memutuskan untuk mengulurkan tangan, bersalaman. Sehingga percakapan itu tak pernah terjadi. Keduanya terbenam sepi.

Salaman –seperti keinginan sang pemuda- kerap dijadikan prolog dan –sekaligus- epilog dalam setiap perjumpaan. Gerbang awal sebelum identitas diungkap. Jarak disublim. Agar yang akrab terjadi. Kemudian hasrat dipertukarkan. “Persekongkolan” dimulai. Oleh karenanya seseorang harus mengambil inisiatif, juga keberanian untuk menentukan momentum saat tangan harus diulurkan dan secercah senyum dihempaskan. Sebagai sebuah titik mulai. Titik berangkat yang tegas.

Salaman juga sebuah simbol: keakraban, kesepakatan atau juga mungkin sekedar basa-basi yang teatrikal. Seperti di suatu hari, kita terpesona dengan sebuah tayangan TV yang menampilkan 2 tokoh yang negaranya saling berperang. Keduanya duduk sopan mengapit seorang “juru damai”. Mereka sedang berunding menuju titik damai agar perang bisa dipungkasi. Pembantaian warga tak berdosa segera dihentikan. Akhirnya kata sepakat tercapai. Mereka menebar senyum. Tangan mereka bertautan saling berjabat tangan di tengah berondongan lampu kamera yang silau. Namun, kata damai tak cukup di ruang megah itu. Sebab beberapa mil dari tempat mereka bersalaman, di sudut-sudut negara yang sedang mereka wakili, desing peluru masih menderu. Bersaing dengan lengkingan menyayat dan simbah darah yang buncah. Dan kita tahu, salaman para elit hanya menjadi parodi yang menyimpan getir.

Lebih dari semua itu, bagi orang muslim (mungkin juga seluruh makhluk penghuni kosmos), salaman adalah lampah yang dianjurkan. Nabi Muhammad, puluhan abad silam, menegaskannya:
“Jika dua orang umatku saling berjabat tangan, maka malaikat berdoa kepada Alloh agar dosa keduanya diampuni sebelum mereka saling melepas tangan”
Salaman, dengan akar kata ‘salam’ yang bisa dimaknai sebagai keselamatan adalah sebuah maklumat. Sebuah janji untuk menjamin keselamatan –juga spirit memaafkan- pada yang lain. Kita bisa saksikan di hari lebaran, hampir sepanjang hari kita bersalaman. Tangan kita begitu ringan untuk memungut tangan orang lain. Kita genggam dengan sepenuh hati dan ikrar maaf tanpa henti mengalir. Sebagian kita ciumi punggung tangannya. Di hari itu, salaman bukan sekedar percakapan, tapi sebuah arena pengampunan kolektif.

Akan tetapi salaman juga memiliki antitesis. Tidak semua orang sepakat dengan salaman. Ada rasa miris menohok saat kita menjumpai orang-orang yang mengaku umat Muhammad, tapi menganggap salaman sebagai sebuah anomali. Sesuatu yang menyimpang. Bid’ah yang sesat. Bahkan ada yang langsung bersuci demi bersalaman dengan “orang lain”. Sebab –dalam kamus mereka- yang lain adalah sejenis najis yang bisa membatalkan. Seorang kawan pernah bercerita tentang pertengkaran yang tersulut tersebab uluran tangan yang ditampik. Diam-diam kebencian bersemi. Sesuatu yang bathil direncanakan.

Mereka yang menerima maupun yang menampik uluran tangan sama-sama menyadari bahwa salaman adalah sebuah percakapan. Membutuhkan dialektika. Yang tidak serta merta bermuara pada kata sepakat. Sehingga orang akan menimbang-nimbang sebelum memutuskan untuk bersalaman. Menghitung-hitung. Menakar untung rugi.


Madrasah Sunyi, Januari 2008