Monday, 2 July 2007

Utari


Hati Utari terbelah. Ada selaksa bahagia yang menoreh, sekaligus rasa kecewa yang mencabik. Seperti keajaiban saat Abimanyu, ksatria gagah perkasa putra Arjuna itu mampu menggendongnya dalam sayembara Junjung. Ksatria tampan itu hadir. Menyeruak di antara para ksatria muda yang bertanding untuk turut memperebutkan dirinya.

Putri Kerajaan Wirata itu memang tersohor kecantikannya. Konon, hanya yang memiliki wahyu hidayat yang mampu mengangkat tubuh putri itu. Tak satupun ksatria mampu melakukannya. Hanya Abimanyu, pewaris kebesaran Pandawa, yang –akhirnya- berhasil memenangkan sayembara dan berhak mempersunting Utari.

Utari masih sangat muda ketika bersanding dengan Abimanyu. Hatinya riang saat mendengar bahwa suaminya masih perjaka. Itu Artinya Utari adalah satu-satunya tambatan hati Abimanyu. Tapi senja yang muram itu tiba saat mereka sedang masyuk berbulan madu. Kalabendana, raksasa utusan Gatotkaca tiba-tiba hadir di ambang pintu. Menjemput Abimanyu. Raksasa itu mengajak Abimanyu untuk kembali ke Plangkawati sebab istrinya, Sri Sendari, telah begitu lama merindukannya. Hati Utari teriris. Jelita putri Matswapati itu harus mencercap kenyataan pahit: dia seorang madu. Ada rasa perih sebab dia tidak mampu memiliki Abimanyu seutuhnya, tapi juga lahir rasa salah yang menonjok. Dia telah merebut seorang suami dari istrinya. Dia akan menjadi mala bagi kebahagiaan sebuah keluarga. Utari kalap. Sumpah pun terlontar dari bibirnya yang bergetar, “Semoga kau mati dengan tubuh penuh luka, wahai putra Arjuna!”

Dan kita menyaksikan, di padang Kurusetra, Abimanyu harus menanggung kutukan istrinya itu. Abimanyu mati terajam panah. Tubuhnya melata dengan ratusan panah tertancap bagai duri landak. Kematian itu begitu menyayat. Yudhistira tak mampu menahan air mata. Pandawa berkabung. Mereka kehilangan calon pewaris tahta Hastinapura. Hanya Kresna yang mampu bersikap tenang.

Abimanyu memang pahlawan yang pastas dikenang. Ksatria yang lahir dari rahim Dewi Sembadra itu berperang menghadapi ribuan balaterntara Kurawa seorang diri. Kekuatan Kurawa hampir dilumpuhkan seandainya aturan main Baratayudha ditegakkan. Tapi para senopati Kurawa menyusun siasat licik. Abimanyu dikeroyok dari segala penjuru hingga tubuhnya rebah dan tercacah. Balakurawa bersorak atas kematian putra Arjuna itu. Mereka menari-nari mengelilingi tubuh rusak Abimanyu. Hanya Yuyutsu, salah satu putra Destarastra yang muak dan kecewa menyaksikan kelicikan para senopati Kurawa. Saudara Duryudhana itu akhirnya pergi meninggalkan medan Kurusetra dengan hati membara.

Utari merintih. Dia tak menyangka kutukannya menagih janji. Kematian itu begitu mengenaskan untuk ksatria pilih tanding sehebat Abimanyu. Dielusnya perutnya yang buncit dengan penuh kasih. Di sana bersemayam benih cintanya dengan mendiang suaminya. “Anakku!” suaranya lirih berbisik. “Sungguh malang nasibmu. Saat engkau lahir kelak, kau hanya akan menemukan seseorang yang kau sebut bunda. Mungkin kau bisa menyebut kata ayah, tapi kau tidak akan pernah melihat wajahnya. Kau hanya bisa membayangkan dari tuturan para pujangga istana tentang kehebatannya di medan Baratayudha!” beberapa butir bening menetes…

Hati Utari terbelah. Antara cinta yang memenjara, sekaligus rasa sesal yang menusuk. Kenangan indahnya bersama Abimanyu tetap terpahat di dinding benaknya. Bercampur rasa miris saat dia menyadari bahwa ada wanita lain di hati suaminya. Sebagai manusia dia bisa menerima suratan takdirnya. Bukankah Abimanyu adalah jodoh yang diutus Sang Hyang Widi untuk menjadi suaminya. Bukankah hanya Abimanyu yang memiliki Wahyu Hidayat (?). Tapi kadang dia tidak mampu memendam perihnya saat dia menyadari bahwa dia hanya menjadi yang kedua………………


Pogung, 2 Juli 2007