Pagi pecah. Lelaki itu menghampiriku dengan marah dan sebilah badik mengacung di tangannya. Matanya menyala. Wajahnya tembaga. Mulutnya mengaum diringi lesat jutaan serapah yang jatuh tercecer tepat di depan mataku. Aku terpesona dengan kilatan api di kedua rongga matanya. Nyala itu mengajakku terbang mengarungi waktu-waktu terpendam. Aku seperti melihat obor yang terbuat dari rontal kering. Tiba-tiba aku rindu pada nenek. Perempuan tua itu selalu rajin membuatkanku obor rontal setiap aku akan pergi mengaji ke tempat Pak Amad. Aku dan teman-teman sangat gembira menapaki jalanan terjal di kaki bukit, selepas magrib. Wajah kami berpendar memantulkan nyala obor yang menyeruak gulita. Obor kami seperti seekor naga api yang meliuk di kaki bukit. Kini, nenek telah tiada. Dia menghembuskan nafas terakhirnya saat aku berada jauh darinya. Aku menyesal tidak bisa mendampingi saat-saat terakhir kehidupan nenek. Setiapkali ke pusaranya, aku selalu merapal doa-doa agar Tuhan membuatkan obor dari rontal kering untuk menerangi kegelapan kuburan nenek.
Nyala itu mengingatkanku pada Ronna. Gadis itu serasa penuh sihir saat dua puluh batang lilin dinyalakan serentak di depan wajahnya. Gaun putih dihiasi renda-renda lentik semakin menambah kesan dewasa. Itu terakhir kali aku melihatnya. Sesaat sebelum beberapa orang berseragam meringkusku. Tiga buah pukulan di tengkukku membuat pandanganku gelap seketika. Tapi aku masih mendengar jeritan Ronna. Gadis itu mengejarku. Tangisannya begitu jelas di telinga. Setelah itu diam berkuasa. senyap dan pekat.
Nyala itu menempel di bibir Santi. Noktah merah yang merambat pelan. Perempuan itu selalu membuat perapian kecil di ujung rokoknya setiapkali bakucumbu kami pungkas. Seperti sebuah upacara wajib yang harus aku hormati. Dan itu juga isyarat agar aku segera pergi meninggalkan kamar sempitnya yang apak. Berbagi dengan para lelaki yang menunggu giliran untuk mendapat kehangatan tubuh Santi. Aku selalu merayu perempuan itu agar segera berkemas meninggalkan dunia kotornya. Memulai hidup baru sebagai istriku. Tetapi Santi berkepala batu. Dia tak segan meludahiku setiap aku mencoba meyakinkan dirinya.
Nyala itu menatapku dari balik korden. Remang. Tapi sudah cukup menolongku untuk menemukan jendela kamar Ronna. Kuketuk pelan daunnya. Akhirnya jendela itu terbuka setelah aku nyaris putus asa. Wajah Ronna terpajang di jendela yang merentang. Tatapnya kaget. Senyumnya terbata. Geming. Entah mengapa Ronna serasa asing. Dia sudah menjadi orang lain. Seharusnya dia memelukku, membersihkan luka yang masih menganga di wajahku. Aku kecewa. Dia sama sekali berbeda. Hatiku sobek. Tiba-tiba sebuah nyala menikam mataku. Mendekatiku dengan gesa diiringi suara gaduh. Sekarang ada puluhan nyala melumuri tubuhku. Seperti tombak panjang yang ditusukkan. Tubuhku terpaku. Aku melirik ke arah jendela. Ronna masih di sana. Menatapku dengan hampa. Rasa sakit serta merta bersarang di dadaku. Entah berapakali pukulan-pukulan itu dilabuhkan ke tubuhku. Nyala-nyala itu semakin sengit menikam. Kemudian dunia berputar kencang. Tubuhku rebah. Sayup kudengar suara Ronna menyeruak dalam kegaduhan. "Lelaki itu ingin berbuat jahat padaku!"
Nyala itu mengingatkanku pada remang lampu di kamar Santi. Perempuan itu mengusap lembut kepalaku yang terbujur di atas pangkuannya. Tangannya cekatan membersihkan luka di wajahku. Rautnya ayu meski tanpa sapuan bedak. Aku masih menangkap ketulusan dari pancaran matanya. Untuk kesekian kali dia menyelematkan hidupku. Dia seperti malaikat penjagaku yang hadir saat aku berada di ambang bahaya. Entah dengan kekuatan apa pula dia sanggup membebaskanku dari kursi pesakitan. Sungguh wajar jika aku mulai dirambati rasa suka pada perempuan itu. Sayang sekali aku tidak bisa meluruhkan kekerasan hatinya. Dia selalu menampik hasratku.