Monday, 6 August 2007

Iblis Gugat

Tiba-tiba Iblis merasa gundah gulana. Bagaimana tidak, satu-satunya kebanggaan mereka sebagai aktor pertama yang menggelar teater kesombongan sebentar lagi akan dipatahkan rekornya oleh manusia, makhluk yang di awal penciptaannya membuat mereka ogah untuk tunduk menyembah sehingga mereka dilaknat oleh Tuhan dan dideportasi dari pelataran sorga. Iblis, yang kisah pembangkangannya ditulis di dalam kitab suci merasa mendapat pesaing baru yang jauh lebih sophisticated dalam meramu formulasi keangkaramurkaan. Tidak hanya itu, Iblis merasa hak cipta mereka atas kesombongan dan segala macam metode kejahatan sudah dibajak secara kejam oleh manusia. Penemuan fenomenal sang Iblis itu bahkan sudah dijadikan atribut wajib yang dikenakan manusia dalam setiap ritus upacara kehidupannya.
Memang mengherankan mengapa manusia begitu kesengsem dengan model sikap yang menyimpan muatan kesombongan. Seolah mereka sudah mencapai kesempurnaan hidup saat mereka mampu bersemayam di puncak menara arogansi. Ada semacam kepuasan orgasmus yang menjalar ketika mereka menemukan orang lain terkapar di jurang ketakberdayaan. Ada kenikmatan yang memuncak saat mereka menjumpai keterseokan orang lain dalam menggapai garis finish kesuksesan hidup; Ada rasa bahagia saat mempersaksikan kelemahan dan kepapaan orang lain yang tidak mampu menegakkan tubuh kehidupannya.
Kini, apapun bisa dijadikan modal bagi seseorang untuk menjadi penyombong sejati. Sebab tidak perlu modal besar untuk menjadi seorang ‘saudagar sombong.’ Sebab tidak perlu memiliki ijazah dari universitas ternama untuk bisa bergabung dengan ashabus sombong. Sebab tidak perlu status sosial yang tinggi untuk bisa menjelma elite kesombongan. Sebab tidak perlu memiliki kecakapan dan skill mumpuni untuk bisa bergabung dengan team kecongkakan. Siapapun, asal punya niat yang kekeh, bisa langsung mengisi formulir pendaftaran yang sudah disediakan panitia rekruitmen calon manusia sombong.
Padahal Tuhan sudah memberikan I’tibar yang sangat vulgar dalam riwayat-riwayat sejarah dalam kitab suci. Betapa kesombongan akhirnya lantak. Tersungkur kalah. Sombong adalah lubang galian yang akan mengubur diri seseorang. Juga yang akan membuatnya terjungkal knocked out di akhir ronde kehidupan meskipun sebelumnya dia mengantongi kemenangan demi kemenangan di awal pertandingan. Tidak ada satupun manusia yang menjadi protagonis dalam lanskap kesejarahan hidupnya jika di koridor jiwanya menyumpal manik-manik kesombongan. Itulah sebabnya Tuhan sangat membenci siapapun yang bangga dengan jubah kesombongannya. Wallohu la yuhibbu kulla mukhtalin fahuriin. Bahkan Tuhan tidak akan membuka pintu sorga bagi manusia yang di palung hatinya bersemayam kesombongan –meski hanya- segede Zarah. Namrud, Jaluth, Fir’aun, Qorun, Abu Lahab, adalah percontohan aktor sejarah yang terjungkal karena prestasi kesombongannya.
Akh, Iblis semakin mengelus dada. Epoch bersejarah pengusiran bangsa mereka dari Sorga dan kutukan oleh Tuhan tidak akan lagi menjadi peristiwa istimewa. Sebab manusia akan menciptakan kisah-kisah pembangkangan yang jauh lebih tragik. Dulu kesalahan mereka hanya emoh mengapresiasi karya masterpiece Tuhan: Adam, tetapi kini manusia sudah bertindak lebih radikal dari itu. Manusia, dengan emblem keangkuhannya telah memporakporandakan hasil karya Tuhan. Membangun kerusakan di seantero kosmos kehidupan; menindas keharmonisan tatanan hidup; menjejakkan kaki kesombongannya di tengkuk peradaban. Iblis meratap.
Mereka ingin mengajukkan hak interpelasi sekaligus gugatan kepada Tuhan atas segala sepak terjang manusia yang sudah melebihi ambang batas takaran. Mereka tidak ingin peran sejarahnya dirampas oleh manusia. Mereka tidak rela eksistensinya dikerdilkan oleh makhluk yang dulu dicibirnya. Mereka ingin Tuhan –juga- bertindak tegas menghukum manusia. Akan tetapi Iblis mengurungkan niatnya setelah mereka mendengar Tuhan juga sedang sedih dan murka atas kesombongan manusia yang telah menghancurkan karya-karyaNya. Tuhan juga merasa terusik sebab manusia sedang mencoba merongrong dan mengakuisisi kekuasaan-Nya serta berusaha mengambil alih peran-Nya…..Hmmm…..
Pogung, 20 Juli 2007KA

Cawat

Takbirotul ihram adalah starting point dari pengembaraan transendental yang menegasikan anasir yang berada di luar hak dan kepentingan Alloh. Ikrar takbir menjadi deklarasi sekaligus MoU antara makhluk dan sang Kholik akan sebuah pengakuan sejati. Bahwa Tuhanlah yang paling akbar sehingga semesta kemegahan di luar dimensi Tuhan menjadi kerdil bahkan hempas. Seluruh energi dan konsentrasi dicurahkan untuk Alloh sebagai dzat yang menggenggam dan menguasai kosmos. Manusia sebagai mikrokosmos adalah butiran sangat kecil dalam hamparan padang pasir makrokosmos kekuasaan Alloh.

Sholat tidak hanya sekedar wujud ketundukan makhluk pada Alloh-nya, tapi juga arena workshop kepribadian paling paripurna. Ritus ini juga bukan antologi doa-doa an sich namun sebuah buku manual untuk menggali dan menguasai instrumen-instrumen penggerak mekanisme hidup. Sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah kearifan dan kedewasaan dalam memesrai dinamika kehidupan. Manusia pasca sholat adalah manusia yang beruluk salam. Khalifah yang mampu mengemban amanat ilahiah untuk menebarkan kasih sayang ke segenap penjuru kehidupan. Manusia pasca sholat adalah mahasiswa yang sudah diwisuda setelah menempuh pendidikan di Universitas Sholat yang akan mentransformasi nilai-nilai sholat ke dalam dimensi horizontal relasi kemanusiaan.

Sholat adalah pengembaraan suci. Perjalanan menegakkan sholat mempersyaratkan kesucian seluruh ornamen kemanusiaan kita. Tidak hanya kesucian batin dan raga kita, tapi juga sandangan yang kita kenakan harus terbebas dari segala yang najis. Sebab Alloh Yang Suci hanya bisa dijangkau dengan kondisi yang suci pula. Itulah sebabnya, untuk menjaga betul kesucian, masyarakat di kampung saya (waktu saya kecil) terlebih dulu menanggalkan celana dalamnya (cawat) sebelum memulai ibadah yang satu ini. Saya kerap terpesona dengan segerombolan cawat yang berjejal memenuhi salah satu sudut mushola. Setelah cukup lama mengamati, saya jadi tahu bahwa si A pakai cawat merk anu, si B pakai cawatnya ukuran itu, dan si C adalah model manusia setia sebab hampir sebulan penuh tidak pernah ganti cawat.

Mungkin Tuhan juga terpana melihat kesungguhan hati hamba-hamba-Nya itu dalam mempersiapkan bekal perjalanan ibadahnya. Sebab mereka benar-benar menjadikan sholat sebagai ruang transendensi yang sangat eksklusif. Kehadirannya di hadapan Alloh adalah representasi kepribadian yang tulus dan ikhlas demi maraih ridlo ilahi. Mereka tidak mau mengajak serta cawat yang selama ini melindungi ‘perkakas’nya sebab kuatir akan mengurangi keridloanNya. Kesediaan menanggalkan cawat juga berarti kesanggupan meninggalkan seluruh pakaian keduniawian, atribut status sosial, serta kemegahan dan arogansi kemanusian jika kelak benar-benar menghadap Sang Khalik dalam prosesi kematian.

Rakaat demi rakaat dalam sholat mengandung proses pembelajaran yang sangat komprehensif. Dari mulai kedisiplinan sampai semangat untuk menghargai eksistensi kemanusiaan secara proporsional. Tempo sholat diatur sedemikian rupa sehingga menjadi gerakan-gerakan ritmis yang penuh makna filosofis. Hidup membutuhkan gerakan sholat. Kita harus mampu menentukan kapan saatnya ruku’, saatnya I’tidal, saatnya sujud, dan saatnya duduk tahyat seraya mengacungkan jari. Sholat mengajarkan pada kita untuk saling berbagi ruang hidup dengan orang lain. Kita mesti memberi space yang cukup pada orang yang sholat di belakang kita agar saat dia ruku’ jidatnya tidak membentur bokong kita.

Sholat juga memberikan inspirasi tata cara kehidupan berdemokrasi. Tentang konsep kepemimpinan: Siapa yang berhak menjadi imam, dimana posisi imam, cara mengkritik imam, bagaimana proses suksesi imam yang baik jika di tengah perjalanan sholatnya sang imam tidak mampu menahan kentut. Sholat menghormati kemerdekaan makmum untuk melakukan mufarroqoh (memisahkan diri) jika dia tidak setuju dengan gaya kepemimpinan sang imam atau karena sang imam tidak mau turun dari singgasananya setelah berulang kali menyemburkan gas dari lubang duburnya. Sholat juga sangat mengusung semangat egalitarianisme yang menempatkan manusia pada kedudukan simetris. Di sana tidak ada disparitas antara majikan dan babu, antara direktur dan satpam, antara seorang ahli tarekat dan seorang pemuda yang sejam yang lalu baru saja mengunjungi lokalisasi.

Saya masih terpesona dengan deretan cawat yang terhampar di sudut mushola. Para pemiliknya benar-benar sudah membangun rasa percaya di antara sesama. Mereka saling menjamin tidak akan ada cawat yang tertukar satu sama lain. Takkan ada orang yang mengklaim cawat milik orang lain sebagai miliknya karena mereka menyadari kadar dan takaran struktur cawat yang paling proporsional bagi bagian tertentu dari tubuhnya. Setelah salam diucapkan sebagai penanda akhir perjalanan sholat, dilanjutkan dengan zikir dan doa kemudian dipungkasi dengan saling bersalaman, mereka pun bergegas menyambar cawat masing-masing. Mengenakan kembali unsur kemanusiaannya. Tapi tiba-tiba suasana mendadak gaduh. Kang Darsum, seorang petugas hansip, maraung-raung seperti kesurupan. Seisi mushola pun dibuat kalang kabut. Selidik punya selidik, ternyata ada orang yang iseng mengoleskan balsem di cawat Kang Darsum. Pantas saja sejak tadi Kang Darsum berteriak-teriak:…panas….panas….!!!

Pogung, 29 Juli 2007
KA