Monday 6 August 2007

Cawat

Takbirotul ihram adalah starting point dari pengembaraan transendental yang menegasikan anasir yang berada di luar hak dan kepentingan Alloh. Ikrar takbir menjadi deklarasi sekaligus MoU antara makhluk dan sang Kholik akan sebuah pengakuan sejati. Bahwa Tuhanlah yang paling akbar sehingga semesta kemegahan di luar dimensi Tuhan menjadi kerdil bahkan hempas. Seluruh energi dan konsentrasi dicurahkan untuk Alloh sebagai dzat yang menggenggam dan menguasai kosmos. Manusia sebagai mikrokosmos adalah butiran sangat kecil dalam hamparan padang pasir makrokosmos kekuasaan Alloh.

Sholat tidak hanya sekedar wujud ketundukan makhluk pada Alloh-nya, tapi juga arena workshop kepribadian paling paripurna. Ritus ini juga bukan antologi doa-doa an sich namun sebuah buku manual untuk menggali dan menguasai instrumen-instrumen penggerak mekanisme hidup. Sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah kearifan dan kedewasaan dalam memesrai dinamika kehidupan. Manusia pasca sholat adalah manusia yang beruluk salam. Khalifah yang mampu mengemban amanat ilahiah untuk menebarkan kasih sayang ke segenap penjuru kehidupan. Manusia pasca sholat adalah mahasiswa yang sudah diwisuda setelah menempuh pendidikan di Universitas Sholat yang akan mentransformasi nilai-nilai sholat ke dalam dimensi horizontal relasi kemanusiaan.

Sholat adalah pengembaraan suci. Perjalanan menegakkan sholat mempersyaratkan kesucian seluruh ornamen kemanusiaan kita. Tidak hanya kesucian batin dan raga kita, tapi juga sandangan yang kita kenakan harus terbebas dari segala yang najis. Sebab Alloh Yang Suci hanya bisa dijangkau dengan kondisi yang suci pula. Itulah sebabnya, untuk menjaga betul kesucian, masyarakat di kampung saya (waktu saya kecil) terlebih dulu menanggalkan celana dalamnya (cawat) sebelum memulai ibadah yang satu ini. Saya kerap terpesona dengan segerombolan cawat yang berjejal memenuhi salah satu sudut mushola. Setelah cukup lama mengamati, saya jadi tahu bahwa si A pakai cawat merk anu, si B pakai cawatnya ukuran itu, dan si C adalah model manusia setia sebab hampir sebulan penuh tidak pernah ganti cawat.

Mungkin Tuhan juga terpana melihat kesungguhan hati hamba-hamba-Nya itu dalam mempersiapkan bekal perjalanan ibadahnya. Sebab mereka benar-benar menjadikan sholat sebagai ruang transendensi yang sangat eksklusif. Kehadirannya di hadapan Alloh adalah representasi kepribadian yang tulus dan ikhlas demi maraih ridlo ilahi. Mereka tidak mau mengajak serta cawat yang selama ini melindungi ‘perkakas’nya sebab kuatir akan mengurangi keridloanNya. Kesediaan menanggalkan cawat juga berarti kesanggupan meninggalkan seluruh pakaian keduniawian, atribut status sosial, serta kemegahan dan arogansi kemanusian jika kelak benar-benar menghadap Sang Khalik dalam prosesi kematian.

Rakaat demi rakaat dalam sholat mengandung proses pembelajaran yang sangat komprehensif. Dari mulai kedisiplinan sampai semangat untuk menghargai eksistensi kemanusiaan secara proporsional. Tempo sholat diatur sedemikian rupa sehingga menjadi gerakan-gerakan ritmis yang penuh makna filosofis. Hidup membutuhkan gerakan sholat. Kita harus mampu menentukan kapan saatnya ruku’, saatnya I’tidal, saatnya sujud, dan saatnya duduk tahyat seraya mengacungkan jari. Sholat mengajarkan pada kita untuk saling berbagi ruang hidup dengan orang lain. Kita mesti memberi space yang cukup pada orang yang sholat di belakang kita agar saat dia ruku’ jidatnya tidak membentur bokong kita.

Sholat juga memberikan inspirasi tata cara kehidupan berdemokrasi. Tentang konsep kepemimpinan: Siapa yang berhak menjadi imam, dimana posisi imam, cara mengkritik imam, bagaimana proses suksesi imam yang baik jika di tengah perjalanan sholatnya sang imam tidak mampu menahan kentut. Sholat menghormati kemerdekaan makmum untuk melakukan mufarroqoh (memisahkan diri) jika dia tidak setuju dengan gaya kepemimpinan sang imam atau karena sang imam tidak mau turun dari singgasananya setelah berulang kali menyemburkan gas dari lubang duburnya. Sholat juga sangat mengusung semangat egalitarianisme yang menempatkan manusia pada kedudukan simetris. Di sana tidak ada disparitas antara majikan dan babu, antara direktur dan satpam, antara seorang ahli tarekat dan seorang pemuda yang sejam yang lalu baru saja mengunjungi lokalisasi.

Saya masih terpesona dengan deretan cawat yang terhampar di sudut mushola. Para pemiliknya benar-benar sudah membangun rasa percaya di antara sesama. Mereka saling menjamin tidak akan ada cawat yang tertukar satu sama lain. Takkan ada orang yang mengklaim cawat milik orang lain sebagai miliknya karena mereka menyadari kadar dan takaran struktur cawat yang paling proporsional bagi bagian tertentu dari tubuhnya. Setelah salam diucapkan sebagai penanda akhir perjalanan sholat, dilanjutkan dengan zikir dan doa kemudian dipungkasi dengan saling bersalaman, mereka pun bergegas menyambar cawat masing-masing. Mengenakan kembali unsur kemanusiaannya. Tapi tiba-tiba suasana mendadak gaduh. Kang Darsum, seorang petugas hansip, maraung-raung seperti kesurupan. Seisi mushola pun dibuat kalang kabut. Selidik punya selidik, ternyata ada orang yang iseng mengoleskan balsem di cawat Kang Darsum. Pantas saja sejak tadi Kang Darsum berteriak-teriak:…panas….panas….!!!

Pogung, 29 Juli 2007
KA

No comments: