Saturday 12 April 2008

R e n a (1)


Rena menyongsongku dengan riuh. Senyumnya renyah mengembang. Rambutnya yang legam seperti arang yang diguriskan dengan tajam. Jatuh menyusuri pundak dan ruah di punggungnya yang sedikit bungkuk. Beberapa helai meliuk-liuk menggelitik pipinya yang merona. Merah yang malu-malu. Tubuh itu semakin tipis. Terbalut daster kusam bermotif kembang cempaka. Tiba-tiba hatiku nelangsa memergoki tatapannya yang kosong. Lingkaran kecoklatan menggelayut di sekeliling matanya. Tanda rasa lelah yang menggerogot. Lama sekali kunikmati pesona itu. Tak terasa, beberapa butiran bening meleleh.

Rena, gadis yang kutemui di ujung malam itu telah merenggut hatiku. Tanpa sengaja kami berkenalan di tengah kepungan gerimis. Gadis itu seperti datang dari lorong malam yang legam. Hadir di sisiku, berpayung jaket parasut kumal. Mungkin karena dingin yang menusuk atau -mungkin juga- karena angin malam yang mengangkut desir birahi, aku tersihir oleh raut ayu gadis itu. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk mencintainya. Gadis itu tak menampik. Sampai saat ini, setiap malam hampar usai, aku selalu merasa dirongrong oleh kerinduan pada senyum tertahannya. Juga anggukan perlahan wajahnya saat mengiyakan hasratku. Di tengah gulungan kabut, tangan kami saling merekat, menyambut buncahan mentari yang datang terlambat pagi itu.

Rena berlari-lari kecil ke arahku. Tangannya langsung merenggut sebungkus martabak telor yang kujinjing. Kami duduk di bangku rotan di depan kamar kontrakannya. Menikmati pesona bulan sabit tanggal tujuh yang timbul tenggelam dalam gemawan hitam. Penggal lingkaran kecil itu seperti senyum yang tak pernah putus. Mungkin geli menyaksikan kami saling berebut martabak. Saat-saat seperti ini yang kurindukan. Rena telah mengubah segalanya. Dia harta karun yang aku buru selama ini. Dan keindahan itu kini bergelayut manja di pundakku setelah kekenyangan menyantap enam potong martabak. Ingin sekali kuusap rambut kelamnya, membelainya dengan santun. Tapi tiba-tiba bulan sabit nongol di antara rimbun daun mahoni di depan kamar Rena. Dia terbahak, mungkin menertawakan ketidakberanianku…..

Gejayan, 14 April 2008

No comments: