Senja
Istriku, dekatkan telingamu. Akan kubacakan perlahan berita-berita hangat hari ini. Tentu kau tidak tahu, jauh di seberang negeri ini tengah terjadi huru hara. Ribuan biksu dengan jubah merah ranum tengah menuntut perubahan. Suara mereka lantang menggugat kesewenangan para penguasa negeri. Suara-suara itu terus melengking. Bersaing dengan desing peluru tajam yang dimuntahkan. Beberapa di antara mereka rubuh. Jubah-jubah itu semakin merah. Basah.
Istriku, kenapa kau menangis (?) Baiklah, aku takkan lagi membaca berita penuh darah ini. Aku lupa jika hatimu sangat perasa. Kau selalu menangis setiap mendengar kematian. Biarlah kuusap air matamu. Sudah sangat lama aku tidak melakukannya. Kadang muncul kerinduan melihat butiran bening itu menyusuri lekuk wajah ayumu. Seperti sore setahun silam, ketika kau melihat burung gagak bertengger di ubung-ubung. Kau menangis. Kau takut melihat isyarat kematian itu.
Istriku, kini aku yang tak bisa membendung air mata. Hatiku poranda menatap wajahmu yang diam. Senyummu yang beku. Kuciumi sebentuk keindahan yang bertabur wangi pandan itu. Seketika hampa mewabah saat keranda mengusung tubuhmu yang kaku. Rasanya baru kemarin di senja itu, saat kita duduk berdua di beranda. Menikmati secangkir teh panas dan surat kabar sore.
Istriku, kemarilah. Duduklah di sampingku. Menikmati senja yang hampir berlabuh dengan secangkir teh panas dan surat kabar hari ini. Banyak berita menarik hari ini, istriku. Tentu kau tak sempat membacanya.......
(untuk seorang karib)
pogung, Oktober 2007