Friday 5 October 2007

Fermentasi

Ramadhan adalah proses fermentasi hakikat kemanusiaan kita. Seandainya Ramadhan sanggup kita kuak rahasianya maka kita akan mengalami transformasi dari singkong menuju tape. Perubahan dari wadag (kasar) menjadi ruh (halus). Alloh yang Maha Lembut akan mengajari makhlukNya selama sebulan penuh melalui pelatihan intensif simulasi peragian kepribadian. Sehingga saat Lebaran tiba -sebagai muara perjalanan Ramadhan- kita menjelma bayi yang bersih tanpa goresan noda. Kita akan menjadi manusia baru dengan onderdil kemanusiaan yang halus dan mulus (original). Kita akan bertolak memulai tugas kemanusiaan dengan berperan sebagai makhluk yang di dalam tubuhnya mengandung partikel-partikel kelembutan dan kasih sayang. Manusia yang sudah di-tape-kan dari ke-singkong-annya.

Tentu tidak semua singkong berhasil berfermentasi menjadi tape. Banyak yang tetap ngotot dengan kesingkongannya. Tidak sedikit yang konsisten dengan badan kasarnya. Kesuksesan proses ini tergantung pada tingkat akurasi takaran ragi yang digunakan dalam proses pentapean itu. Sebab antara singkong dan tape terbentang jarak ribuan mil yang hanya bisa direngkuh dengan kesediaan kita untuk mengikuti turorial yang dirancang Alloh. Alloh sudah menyediakan kurikulum yang sangat mumpuni tentang pola peribadatan selama Ramadhan. Yang memungkinkan makhlukNya mampu menjalani ritus peragian secara baik dan benar tanpa tersaruk kesalahan-kesalahan teknis. Formulasi fermentasi Ramadhan akan menghasilkan kualitas tape yang beragam dimana derajat keempukan dan kelembutannya menjadi tolok ukur kesungguhan hati manusia dalam mengamini titah Alloh.

Di bulan mulia ini manusia, terutama golongan alladzina amanuu, dititahi oleh Alloh untuk merasakan ”penderitaan” puasa. Puasa adalah kesanggupan makhluk untuk menolak sesuatu yang sebenarnya menjadi haknya. Men”tidak” an sesuatu yang seharusnya di”Iya”kan. Tersebab puasa, makanan yang berlalulalang di depan hidung kita harus ditolak dan diharamkan. Kita tolak kehalalan dan haknya untuk masuk ke dalam tubuh kita. Istri yang kita nikahi secara sah dan halal kita ”cangkuli” kapanpun menjadi haram kita ’pergauli’ selama perjalanan puasa. Selain itu, puasa juga merupakan kesanggupan untuk menahan diri dari semesta tradisi melepaslampiaskan. Konteks puasa meniscayakan makhluk untuk berani mencukupkan pemenuhan hasrat sebelum sampai pada titik kulminasi orgasmus. Dengan demikian puasa akan menjadi pembelajaran penting bagi manusia dalam rangka menuju peristiwa makan sejati sebagaimana dianjurkan Kanjeng Nabi Muhammad:”Makanlah ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang!”. Nasihat sang nabi ini –seharusnya- berlaku dalam segala dimensi pergaulan hidup manusia yang kerap menyisipkan kemungkinan untuk saling memakan.

Di bulan suci ini Alloh sangat royal dengan cintaNya (ar Rahman). Di salah satu malamnya Alloh mengutus secara kolosal (tanazzal) para malaikatNya di bawah komando Paduka Jibril menyambangi pelataran dunia. Mereka mengemban amanat Alloh untuk menebar bermilyar-milyar rahmatNya ke muka bumi. Hanya hamba-hamba yang memiliki receiver canggih yang mampu menjumpai moment ini serta menjaring hamburan rahmat yang melayang-layang di atas ubun-ubun kesadarannya. Sepanjang Ramadhan Alloh yang Maha Gaib (alBathin) juga tak segan-segan membuka pintu-pintu rahasiaNya agar manusia mampu menemukan cahaya illahiyyah. Nuur yang akan membebaskan manusia dari gulita dan ketersesatan yang selalu menyerimpung langkah mereka menuju orientasi kesalehan hidup.

Begitu luar biasanya Ramadhan sehingga kedatangannya selalu dinanti-nantikan. Dia sejenis oase yang menyemburat di tengah padang gersang kehidupan manusia. Ramadhan menjadi semacam interupsi dari hilir mudik kesibukan manusia dalam menguntit dan memesrai dunia. Tak heran jika kehadirannya disambut dengan gempita sekaligus kikuk. Tapi sayang, setiap kali bulan ini hadir, orang-orang hanya disibukkan dengan formalitas upacara-upacara penyambutan. Tiba-tiba Ramadhan di kebiri perannya menjadi sekedar peluit isyarat agar orang-orang bangun di malam hari (sahur), menempuh perjalanan puasa sampai Maghrib menjelang; Ramadhan dipaksa tunduk pada ego kemanjaan manusia. Ramadhan menjadi wanti-wanti agar warung-warung makanan harus tutup di siang hari sebab kuatir pada ahli ibadah –puasa- lumer imannya demi memergoki sepiring nasi. Sebagian dari saudara kita –bahkan- tak segan melakukan sweaping terhadap segala sesuatu yang memungkinkan mengganggu kekhusyukan ibadah di Bulan suci ini. Akhirnya Ramadhan hanya tereduksi menjadi ruang ibadah yang soliter. Seperti sirkuit yang memacu hasrat perlombaan akumulasi pahala personal dengan menafikan kewajiban dan kesadaran profan.

Fermentasi Ramadhan tidak hanya melahirkan ”tape” kesalehan individual, tetapi juga memproduce kepekaan sosial dan kesediaan untuk saling berbagi. ”Penderitaan” yang dirasakan selama Ramadhan harus menjadi etos substansial yang mereproduksi –secara konstan- rasa empati dan tanggung jawab sosial. Manusia tape pasca Ramadhan adalah manusia dua dimensi yang berusaha menangkap isi hati Alloh di satu sisi, dan menyediakan ruang batinnya untuk menampung penderitaan manusia lain. Meskipun Alloh telah mengklaim puasa (Ramadhan) sebagai hakNya, sesungguhnya Alloh tidak possesif dengan ibadah hamba-hambaNya itu. Dia sudah teramat kaya dan tidak butuh sokongan upeti ibadah dari siapapun. Sikap itu merupakan wujud keseriusan Alloh mengajari para makhlukNya untuk menghikmahi penderitaan sebagai ladang persemaian benih cinta dan kasih sayang terhadap yang lain.
Wallohu’alam

Pogung, Ramadhan 1428

No comments: