Thursday, 28 June 2007

Luna


Dia hadir di ujung Desember ketika gerimis mengepung. Wajahnya yang pualam adalah senja di ambang purnama; teduh dan memikat. Dia seorang gadis yang kerap berkisah tentang sekuntum Sakura di awal semi; juga tentang kelebat samurai sebelum sebongkah tubuh ambruk di dalam Shinju.
“Tubuh itu mengejang, berkelojotan kemudian diam” tuturnya dengan mata berkaca.
”dan darah ada di mana-mana.” Kisah itu terus mengalun seperti denting shamisen. mengalir, menikam sunyi yang memenjara. Begitulah sejak saat itu, setiap gerimis memijak dia selalu hadir dan bertutur tentang sekuntum Sakura dan kelebat samurai.
Sudah sangat lama sejak pertama kali ia datang, gadis itu tak pernah jenuh dengan daya tariknya. Ia adalah magnet, yang menarik siapapun ke arah kutubnya yang kuat.
Dan gadis itu tak menyadari sudah sekian lama seorang pemuda memperhatikannya, mengabadikan pesonanya dalam gugup dan ragu. Tetapi Sang pemuda yakin gadis itu hanya hologram yang menyatu dengan ketiadaan; abstrak tak terjamah. Dia bertekad untuk meredam segalanya; mengemas segenap hasrat dan menyimpannya di dalam laci yang terkunci atau menguburnya jauh di palung bumi; membiarkannya sublim bersama pekat dan kehampaan.
Dan sekarang adalah purnama kedelapan ketika Desember kembali menjemput, hasrat sang pemuda tidak pernah koyak. Dia selalu setia pada cintanya, pada pesona yang memencar dari sorot sang gadis.
“Dia begitu senyap” bisik sang pemuda pada purnama yang melotot di balik rumpun bambu di sebuah malam setelah genap sewindu dia memendam rindu.
“Seperti sebuah sore setelah hujan mereda” kali ini dia mendesah.
“Kau yakin?” tiba-tiba purnama merasa terusik oleh kegelisahan pemuda.
“Dia begitu magis!!” sang pemuda geming.
“Kau yakin?” purnama semakin penasaran
“Ya. Tidakkah kau melihat sorot itu? sorot yang menikam. Kau juga harus menyaksikan senyumnya. Senyum yang hening, tetapi begitu memukau”
“Kau yakin?” sela purnama
“Datanglah diujung Desember ketika gerimis mengepung. Kau akan melihat keajaiban itu”
Purnama terbahak kemudian buru-buru melompat ke dalam rumpun bambu. Tinggal sang pemuda seorang diri. Memagut dirinya dalam senyap yang menyergap.
“Benarkah kau lelaki yang selama ini melucuti wajahku?” tiba-tiba gadis itu terpajang di ambang pintu saat Desember kembali berlabuh. Kini wajahnya tidak hanya pualam, tapi juga dilumuri salju. Si pemuda menjerit. Hatinya meronta. Hasratnya tak terbendung lagi.
“Maaf, Nona. Aku tak kuasa untuk tidak menikmati pesona di wajahmu. Aku selalu rindu tatapmu. Juga senyummu yang puitis…aku jatuh cinta padamu!”
“Aku lelah!” tiba-tiba sang gadis mendesah seperti menahan selaksa bah yang nyaris tumpah.
“Cinta datang silih berganti. Beribu wajah hadir menjajah, menawarkan berkeranjang harapan.”
“Aku sangat lelah!” dihembuskannya nafas itu seperti gumpalan gelombang menerjang.
“Dan kau adalah lelaki ke seribu satu yang mencoba menancapkan panah cinta di hatiku. Apakah kau ingin membuatku semakin lelah?” sang pemuda geming. Entah mengapa dia merasa iba. Goresan lelah itu semakin tergambar jelas di sorot mata sang gadis.
“Maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu semakin lelah. Aku hanya ingin menikmati bening tatapanmu kala senja mulai berangkat. Aku ingin menunjukkan pada purnama bahwa ada yang lebih mempesona dari rona indahnya; ada yang lebih membuat jiwaku melayang mengembara: tatapanmu,Nona!!!” Tawa sang gadis buncah membelah senyap.
“Aku sudah kebal dengan segala puja puji basi seperti itu. Seribu lelaki singgah di ruang hidupku. Mereka para pujangga yang menganggap perempuan akan runtuh jiwanya dengan selembar kata mutiara. Apakah kau juga akan berlagak pujangga seperti mereka???”
Pemuda itu diam. Hatinya tersayat. Entah mengapa ada rasa ngeri yang tiba-tiba mengeroyoknya.
“Aku bukan mereka. Aku juga tidak berlagak pujangga. Atau jangan-jangan mereka juga bukan pujangga. Kaulah yang membuat mereka menjadi Dawud, yang kata-katanya penuh sihir para pujangga. Lidahku hanya mewakili kata hati. Kata-kata itu bersemayam di palung hatiku yang terus meronta, berteriak-teriak, berontak. Mulutku tak kuasa menindas mereka. Tak mampu membendung gelombang dahsyatnya. Dan mereka menghambur tak terbendung!”
Sang gadis tertawa. Panjang tanpa jeda. Kemudian dia sirna bersama remang senja yang menyelimut. Hanya sebongkah senyumnya masih tergeletak di pelataran benak sang pemuda. Segera dipungutnya senyum itu, dibungkus dan dibawa lari tanpa henti.
Desember datang silih berganti. Gadis itu tak pernah hadir lagi. Kisahnya sublim bersama kehampaan. Hanya senyumnya yang masih terpajang di setiap sudut kerinduan………….


Kamis sore, 28 Juni 2007

Monday, 25 June 2007

Steffy

Aku takkan pernah melupakanmu, Steffy. Kehadiranmu yang tiba-tiba, muncul dari tabung monitor di sebuah senja ketika gerimis merintik, telah menggoreskan jejak tak terhapus. Sejak itu pesonamu merasuk ke dalam aras terdalam lubuk hatiku. Menerbitkan kekonyolan yang sering kumaknai sebagai cinta. Kini, sudah sewindu aku mengenalmu. Satu demi satu kau kirimkan fotomu.
“Kapan kau kirim fotomu untukku?!” protesmu saat kau mengirim fotomu yang keseratus.
“Suatu saat jika moment itu sudah kutemukan!” kilahku diplomatis.
“Kamu gak serius. Tidak pernah serius!” aku mulai mencium aroma kemarahan dari tulisanmu yang tertera di layar monitor. Dan aku bisa memahami.
”Bahkan kau belum pernah cerita tentang dirimu, aktivitasmu,keluargamu,latar belakang kehidupanmu, dan semua yang berhak aku ketahui. Kamu tidak adil, Rud! Akh, jangan-jangan namamu juga bukan Rudi!” Aku hanya geming menatap deretan kata-kata yang terpajang di layar monitor. “Maaf!” jawabku singkat.
“Aku maafkan!” balasmu. Aku membayangkan wajahmu yang bersungut-sungut.
“Kadang aku belum siap menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensialis!”
Kamu tertawa di ujung sana. Entah apa makna tawa itu.
“Ya sudah. Aku tak kuasa memaksamu mengakui kesejatianmu. Aku juga tak mau membayangkan seperti apa rupamu. Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin bertanya satu hal padamu: apakah kamu nyata?!”
Kini tawaku yang meledak. Aku tak pernah membayangkan pertanyaan semacam itu.
“Jangan-jangan kamu hologram!? Hai!! Kok diam??”
“Kamu lucu, Stefy! Mengingatkanku pada Pak Lurah di kampungku yang suka menginterogasi warganya. Hahaha!” godaku
“Gak lucu!! Ayo dong jawab dulu pertanyaanku, Rud!” desakmu
“pentingkah untuk dijawab?”
“sangat penting,Rud!”
“Wahai Stefyku yang lucu, ketahuilah bahwa aku nyata. Kalau gak percaya datang saja kesini. Kau bisa menyentuhku. He..he…he…!”
“Thanks,ya! Jawaban jayusmu sudah cukup. Rud, aku cabut dulu,ya?! Banyak pasien menunggu, nich!”
“Baiklah, Bu dokter, bye!! Miss u
Begitulah pertemuan maya kita. Dan sejak itu kau tak pernah muncul lagi. Kamu sirna entah kemana.
“Rud…!” Tiba-tiba kau muncul kembali di ruang mayaku setelah setahun pergi tanpa bekas. “Kau masih ingat aku? Sepertinya sudah sangat lama kita tidak saling menyapa. Tentu banyak peristiwa terjadi dalam hidupmu. Maaf, aku lupa meninggalkan kata pamit untukmu. Aku begitu tergesa. Akh! Ceritanya panjang, Rud. Sekarang pun aku harus cepat-cepat pergi. Oi ya, kamu masih mau menyimpan foto-fotoku,kan?!” Kau begitu saja berlalu tanpa menunggu jawabanku. Hanya beberapa lembar foto kau kirimkan. Aku cetak satu persatu fotomu. Kau tampak bahagia. Kau selalu tersenyum di setiap fotomu. Senyummu begitu asli.
Beberapakali kau datang kembali dan pergi dengan penuh gesa. Meninggalkan berlembar-lembar foto yang selalu tersenyum. Sepertinya wajahmu hanya untuk mementaskan teater kebahagiaan. Kini, sudah hampir seribu lembar foto kau kirimkan. Semuanya tersenyum. Semuanya bahagia. Senyummu begitu asli.
“Apakah kau masih menyimpan foto-fotoku?” kembali deretan kata-katamu mengagetkanku. “Rud, aku ingin bertemu denganmu. Ini tidak sekedar keinginan, tapi permohonan. Aku harap kau tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Kehadiranmu sangat berarti untukku. Hanya kamu orang yang mampu mengisi ruang sunyiku. Kaulah yang membuat aku selalu tersenyum. Tak gampang menemukan seseorang seperti dirimu, Rud. Kau begitu sabar mengasuh pertemuan demi pertemuan yang terjadi antara kita. Aku ingin sekali memelukmu. Mengendus aroma tubuhmu. Aku ingin menikmati tatapanmu. Aku ingin merasakan sentuhanmu yang selama ini hanya aku bayangkan. Rud, aku kesepian…!” Kau serta merta pergi setelah meninggalkan secarik pesan: alamatmu. Tiba-tiba aku tersentak membacanya. Ada yang bergemuruh dalam dadaku. Kuaduk-aduk lagi foto-fotomu yang menumpuk di meja kerjaku. Foto itu kini hanya berupa lembaran-lembaran kosong. Tiba-tiba pandanganku juga menjadi kosong. Pekat…………..

Pogung, 25 Juni 2007

Saturday, 23 June 2007

250504

Ketika Rara Berhari jadi.........

W a j a h
Dia adalah produk sejarah. Terlontar ke dunia bersama simbahan darah dan buncahan ketuban diiring erangan panjang pengantar hidup. 22 tahun sudah, dia bergumul dengan kehidupan, melangkah dari sebuah titik nol membangun deretan angka-angka sejarah. Dia tumbuh dengan identitasnya, diringkus oleh berjuta aksesoris yang melekat di tubuhnya. Dia menghimpun beratus pengalaman yang akan menjadi cornerstone dalam mengayun sampan kehidupan. Dia adalah masa lalu sekaligus masa depan. Dia, sebagaimana yang pernah aku saksikan adalah sebuah pribadi, sebuah kedirian yang samasekali otonom. Mungkin dia memiliki seribu wajah yang terpasang silih berganti kapanpun dia inginkan, tetapi ada satu wajah yang tidak pernah aus dan lekang dan selalu kusimpan: Wajah seorang sahabat!

K a m i s
Kamis itu adalah titik awal dari sebuah perjalanan panjang. Aku selalu mengingat wajahnya, arsiran lembut di dahinya, nafasnya yang gelisah, tatapannya yang pecah. Dia tengah memendam luka. Sebuah luka yang menggores saat senja menggantung. Seseorang telah menghembuskan hasratnya melalui butiran mantera, menumbuhkan kamuflase yang memenjarakan dia dalam rindu yang ganjil. Setiap malam tiba, ribuan iblis membekapnya dengan belaian mistis. Gadis itu sering terjaga dari lelapnya. Sesuatu yang aneh sering kali mengusiknya, berbisik, kadang hanya meniup pelan di daun telinganya. Sangat aneh! Seperti datang dari alam lain, sebuah dunia yang tak terjangkau. “Seseorang menebar guna-guna” Suaranya begitu perlahan seperti datang dari palung yang dalam dan kelam. Mungkin hanya aku dan rintik gerimis yang merasakan getar itu.

L e l a k i P e l u k i s
Seorang lelaki jatuh hati padanya. Lelaki yang sederhana dan pemalu, lelaki yang menerbitkan berjuta kagum dan rindu. Lelaki yang rela menanggalkan segala mimpi demi sang gadis yang sangat dipuja. Lelaki yang ikhlas merendahkan ubun-ubunnya, memporandakan harga dirinya demi sebuah gelora. Lelaki yang selalu mengabadikan senyumnya lewat goresan ritmis. Lelaki itu pelukis. Dia tidak pernah menikmati kemewahan yang menjadi haknya. Dia lebih suka terkapar di atas dipan lusuh. “Di sanalah inspirasiku terlahir!” Katanya di suatu pagi. Sungguh lelaki yang sederhana dengan imajinasi yang sangat sederhana. Berita terakhir lelaki itu hampir digebuki karena mencuri HP. Sesuatu yang semestinya tak perlu terjadi. Mungkin dia juga menganggap hidup terlalu sederhana, cukup dikantongi dalam saku celana seperti Ha Pe.......

B r a m
Lelaki itu bernama Bram. Saya tidak tahu nama lengkapnya, mungkin Brama Kumbara. Bram adalah lelaki yang tiba-tiba turun dari langit dan menghampiri gadis itu. Dia lelaki yang sempurna dengan tatapan yang teduh. Hari-hari bersama Bram adalah paduan harmoni sebuah orkestra: penuh daya estetis. Gadis itu begitu bersemangat setiap bercerita tentang Bram. “Mungkin Bram sebuah takdir” tatapan gadis itu menampilkan cita yang mendalam. Entah berapa lama mereka merenda cerita? Suatu sore yang murung sepotong suara melompat dari seberang telepon. “Bram sudah menikah!” Gadis itu nampak terbata, ada kecewa yang menghunjam. Dia benar....Bram sebuah takdir!

S t a s i u n
Aku acap tenggelam dalam lamunan setiap melewati Stasiun Tugu. Tempat itu seperti tak pernah ramah padaku, tetapi tempat itu pula yang mengajariku makna sebuah kerinduan. “Malam itu aku terbang melompati jajaran rel kereta yang terkapar, menyibak kerumunan, berharap menemukan wajahnya tergeletak di antara ribuan wajah asing yang terpajang. Tetapi aku hanya menjumpai ketiadaan. Dia telah pergi ditelan gerbong kereta menyisakan rasa rindu yang menyiksa. Tiba-tiba aku menyadari ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan: kerinduan!”
Semilir angin menampar, menusuk tubuhku yang menggigil tanpa jaket. Aku segera pulang untuk menumpahkan rasa rindu.........!

11 B u l a n
Aku bisa menangkap keraguan menggenang di matanya saat dia mesti mengungkap kesejatian. “Sudah sebelas bulan aku bersamanya” suara itu begitu pelan, tetapi sangat menusuk batinku. Sebelas bulan dia memendam rahasia. Sebelas bulan dia mencintai seseorang yang pernah menikamku dengan tatapannya yang angkuh. Yah...dia memang sudah pantas jatuh cinta. Cinta memang sebuah kata yang membutuhkan banyak sekali catatan kaki. Cinta kadang seperti pertaruhan di meja judi; terlalu spekulatif. Akh...persetan dengan cinta. Aku merasa dikibuli selama ini, aku marah, betapa tega dia memelihara kerahasiaan. Tapi aku akhirnya memahami, dia hanya tak ingin menghancurkan persahabatan dengan seutas kejujuran.

4 A p r i l 2004
Aku sempat menganggap hari itu adalah akhir dari perjalanan panjang. Aku merasa letih membangun persahabatan yang selalu memelihara kesalahpahaman. “4 April 2004, saat purnama menyala, aku harus menentukan sebuah pilihan sadar: mengakhiri sbh perjalanan panjang yg melelahkan, yg hy menghimpun luka & mengguratkan perih. Km jg merasakan?” aku masih menyimpan SMS itu. Itu adalah kalimat pembuka dari perdebatan yang mengalir sampai pagi menjelma. Aku sakit oleh sikapnya, mungkin dia juga perih karena ketidak bijaksanannku. Sebenarnya kami sama-sama menyadari ketidakcocokan di antara kami. Tetapi segala perbedaan itulah yang menjadikan semuanya unik, seperti paduan warna dalam lukisan ekspresi. Dan kami tetap mempertahankan segalanya. Sebuah persahabatan, sebuah perbedaan......selamanya!

Dewa

Mirah masih memaku tubuhnya, berkiblat pada gundukan tanah merah saat gelap mulai merambat menghapus jejak cahaya yang terhampar di tanah pekuburan. Isaknya sayup terdengar beriring lantunan doa yang menghempas dari bibirnya yang terus bergetar. Butiran air mata seakan tak pernah lelah menumpah, menyusuri tebing wajah yang dibalut duka. Mengalir terus, membasahi serangkai bunga mawar yang tergenggam erat di tangannya.
“Mengapa begitu cepat kau menutup kisahmu?” Bibir yang bergetar itu mengucap lirih seperti tengah berbisik pada angin yang memberaikan rambutnya. Perlahan ia menengadah, menghunus remang langit dengan tatapnya yang pasrah. Malam sedang menuju kesempurnaannya dengan menaburkan serpihan kelam yang mewabah. Awan berarak menelan gemintang dan sepenggal rembulan senja. Alam terpasung dalam diam. Tiba-tiba langit menghentak, meraung diiringi gemerlap yang melompat kemudian memuntahkan jutaan pilar gerimis yang memenjara, menikam tubuh Mirah yang tergores duka. Mirah seakan tak peduli dengan keangkeran malam dan membiarkan gerimis menusuk-nusuk kesedihan yang bersemayam.
“Kupersembahkan bunga mawar ini sebagai tanda bela sungkawa yang teramat dalam sekaligus untuk mewakili kata cinta yang terpendam dan belum sempat kuucapkan” Mirah bersimpuh meletakkan serangkai bunga mawar bersandar pada nisan yang telah kuyup oleh hujan. Tatapannya terus mengeja selarik nama yang tergores di ujung nisan kayu itu: Kasdi ibnu Kasdono. Entah kenapa nama itu selalu menggetarkan hatinya. Kasdi, lelaki kurus tukang sapu jalan itu telah merenggut hatinya, menorehkan seberkas harapan, mengubur perih dan dendam. Kasdi adalah satu-satunya lelaki yang singgah dan bersemayam di dalam hatinya dengan menabur serbuk cinta yang sebenarnya, tidak seperti para lelaki hidung belang yang mendatanginya demi segumpal kenikmatan. Mereka datang sebagai raja yang minta dilayani, disanjung dengan berjuta basa basi dan mereka pergi setelah meraup madunya, meninggalkan seloroh nakal, dengus nafas apek dan ceceran noda menjijikan. Kasdi begitu berbeda...dia begitu tulus, begitu apa adanya, begitu menghargai kehormatannya sebagai perempuan. Bahkan Kasdi mau menerima dirinya seutuhnya tanpa memedulikan lembaran hitam sejarah hidupnya. Sebagai pelacur kelas ekonomi, Mirah merasa menemukan dewa penolong yang akan membawanya hijrah dari comberan menuju istana para dewa. Dan dewa itu adalah Kasdi: seorang lelaki kurus tukang sapu jalan yang selalu bercerita tentang sepasang merpati yang terbang beriringan melintasi hamparan biru langit sambil bersenandung lagu kemesraan, melewati mendung kelam untuk meraih kedamaian sejati di antara dua telaga bening yang menghampar. Kasdi selalu mempesona dengan cerita-ceritanya, Kasdi benar-benar Dewa bagi Mirah. Tetapi sang dewa itu telah pergi, terbujur kaku, terpendam dalam keheningan.
Mirah merintih. Hatinya begitu tersayat. Dia menyesal karena selalu memungkiri rasa cintanya pada Kasdi hanya Karena Kasdi seorang tukang sapu jalan yang tidak mungkin mengubah ketidaknormalan hidupnya sebagai orang kere dan tercabik kehormatannya. Lelaki yang selama ini disepelekan dan dipandang sebelah mata itu telah mengorbankan nyawa yang melekat di tubuhnya demi membela harga dirinya, harga diri seorang pelacur kotor seperti dia. Mirah memekik meratapi kebodohan dan penyesalannya, tetapi sia-sia penyesalannya terlambat. Orang yang begitu mencintainya telah menyatu dengan tanah, telah terkubur jauh dalam jurang ketiadaan yang gulita. Kali ini Mirah menjerit.....
Hujan makin deras, meraung seperti mesin jahit, mengguyur tubuh Mirah yang menggigil. Angin berhamburan seperti sedang berebut, menyela di antara daun pohon kamboja, meninggalkan aroma mistis yang menyergap.
“Kekasihku. Aku tahu siapa yang telah membuatmu begini, yang membuatmu membisu selamanya, yang telah memisahkan kita, yang telah menghancurkan kedamaian sepasang merpati yang terbang melintasi langit biru. Tidur yang manis, sayang. Aku akan pergi sebentar, aku harus meminta pertanggungjawaban pembuat malapetaka ini. Tunggulah disini, kekasihku. Aku segera kembali untuk menemani tidurmu malam ini.”
Perlahan Marsih bangkit dan beranjak pergi membawa duka dan dendam yang menjejal di dadanya. Kelebat petir mengiris gelap meninggalkan jerit alam yang telanjang, mengiringi langkah Mirah yang tersaruk payah.

Friday, 22 June 2007

Erotism


Masyarakat seringkali mengalami keterbelahan persepsi saat ‘dimohon’ untuk menilai erotisme ataupun segala bentuk sensualitas; antara setuju dan tidak setuju. Keterbelahan itu terpolarisasi dalam dua kubu yang sama-sama berusaha mengusung idealismenya. Sebagian masyarakat memandang erotisme sebagai fenomena artistik yang harus direspon secara apresiatif. Erotisme dianggap sebagai puncak pencapaian estetis yang ditampilkan melalui eksploitasi sensualitas tubuh (wanita). Dalam konteks ini erotisme tidak dapat divonis sebagai bentuk pornografi, melainkan sebuah ikon yang integral dalam dunia seni yang harus dinikmati secara sadar dan legal tanpa ada intervensi fantastis ataupun segala macam pikiran ‘ngeres’ yang mengendap dalam batok kepala siapapun yang memelototinya.
Sementara, sebagian yang lain, yang mengecam erotisme akan mengkonfrontasikannya dengan nalar etik moralitas dan dalil-dalil normativitas agama. Dalam asumsi mereka, erotisme dianggap sebagai fenomena yang menindas nilai-nilai moralitas dan religiusitas serta dapat mengarah pada terjadinya degradasi dan dekadensi moral (manusia). Kelompok ini juga mempertanyakan sikap para pekerja seni atau siapapun yang terlalu berkompromi dengan eksibisi erotik sehingga menyebabkan batas antara seni dan pornografi menjadi kabur dan sulit didefinisikan.
Melihat kontroversi dua kelompok tersebut, sebaiknya memang harus dicari suatu ‘formulasi’ untuk menjembatani perseturuan yang terus menggapai titik kulminasinya. Setidaknya perlu ada upaya penelusuran terhadap akar permasalahan sehingga diperoleh konsensi dan objektivitas serta kearifan dalam menentukan garis demarkasi antara erotisme yang masih dapat dima’fu dan yang sudah mengancam harga diri kemanusiaan.
Konon, erotisme sedang mengalami proses komodifikasi. Erotisme dijadikan komoditas yang bernilai jual tinggi. Erotisme sengaja diciptakan, di’produce’, dibiakkan secara masif untuk menghegemoni persepsi masyarakat sehingga mereka (masyarakat) akan menganggap erotisme (dan saudara-saudaranya) sebagai sebuah keniscayaan sejarah..
Sebagai sebuah komoditas, erotisme memerlukan ‘tumbal-tumbal’ yang dijadikan sumber inspirasi sekaligus objek untuk menambah nilai jual agar lebih marketable. Maka dibuatlah tim 'pencari bakat' yang menyebar ke sudut desa. Mencari 'barang mentah' yang akan dipoles sedemikian rupa menjadi barang komoditas yang punya nilai jual selangit. Gadis-gadis lugu pun dirayu, digombali, diberi bunga-bunga harapan yang memabukkan.


Gadis-gadis manis itupun -akhirnya- jadi terbiasa membuka bajunya di depan kamera, mempertontonkan separuh buah sorga yang seharusnya ditutup rapat (agar membuat penasaran). Bahkan sebagian dari mereka ada yang berani menanggalkan seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya kemudian menggeliat-geliat, menyuguhkan tubuh toplesnya di hadapan ratusan pasang mata. Sekali lagi mereka hanyalah boneka yang dipajang di dalam etalase bisnis demi pemenuhan hasrat kapitalistik segelintir manusia.
Saudara-saudara kita yang terlalu berani itu tidak dapat kita salahkan. Kita tidak berhak menusuk mereka dengan sejuta serapah. Mereka hanya belum mampu memilih alternatif terbaik dalam menyikapi hidup. Mereka terlalu ‘pengap’ menghadapi realitas hidup yang memaksa mereka untuk mencari jalan pintas. Dan kesempatan itu ada. Beberapa orang yang terlalu ‘kreatif’ memberi peluang kepada mereka untuk meniti karir sebagai bintang porno. Kemudian kamera dibidikkan. Tanpa rasa sungkan, gadis-gadis itu melucuti pakaian kemanusiaannya. Dibiarkannya puluhan pasang mata menelusuri lekuk tubuhnya. Sekarang tak ada lagi yang rahasia dari tubuhnya. Kerakusan kapitalistik telah memaksa mereka menyingkap segala yang tersembunyi. Bahkan, jika perlu gadis-gadis itu dirayu agar tidak hanya menyuguhkan tubuhnya, tapi juga mempertontonkan jeroan-jeroan di dalam perutnya.....


Busyeeeettt!!!


Paranoia

Manusia seringkali terjebak pada sebuah paranoia. Sebuah kecurigaan atau mungkin ketakutan yang berlebihan dan tidak beralasan. Paranoia acap menjadi faktor pemicu lahirnya sebuah peperangan karena perang adalah media yang menempatkan ‘aku’ dan ‘dia’, ‘kami’ dan ‘mereka’ dalam suatu keinginan untuk saling meniadakan, saling melemahkan, saling menyingkirkan: untuk membunuh rasa curiga dan takut. ‘Dia’ adalah orang lain yang sama sekali berbeda, ‘dia’ adalah musuh,’dia’ adalah spionase yang akan mengeruk rahasia, menebar propaganda, menikam dari belakang.......
Kehadiran ‘dia’ seperti isyarat, pembawa berita, semacam superstitions, seperti burung gagak yang bertengger di ubung-ubung, kupu-kupu yang merasuk ke dalam kamar, anjing yang menyalak di senyap malam. Mereka membawa sebuah pesan dari dunia yang berbeda. Sebuah alam yang tak terjangkau.
‘Dia’ mungkin seorang jahat, perampok, bandit, maling, residivis yang harus dimarjinalkan dan diperangi dalam komunitas sosial atau ‘dia’ mungkin seorang kere yang mesti diasingkan dari stabilitas ’keangkuhan’ hidup karena akan mengotori harmoni. ‘Dia’ hanya boleh bertanya, tetapi tak perlu dijawab karena menjawab pertanyaan orang ‘marjinal’ hanya akan menurunkan martabat, mereduksi kewibawaan, melunturkan kemewahan. Membangun komunikasi dengan ‘dia’ berarti merusak tatanan dan skenario yang digariskan penguasa langit, terlalu destruktif dan melanggar konsensus moralitas. ‘Dia’, yang beranjak dari atmosfir subaltern itu adalah warga kelas dua yang harus merendahkan ubun-ubunnya, menyembah-nyembah ketika berbicara, mengiba tanpa harus dimanusiakan, tanpa harus diberi kehormatan. Aspirasinya adalah residu yang layak dikeranjangsampahkan, Perasaannya hanyalah absurditas....
‘Dia’, orang asing itu memang semestinya terasing. Tersuruk dalam sepi, terdindih perih, terpenjara sunyi. ‘Dia’, seseorang yang berbicara apa adanya, dengan tulus melukiskan kesejatian kadang hanya memperoleh keterusiran. ‘Dia’ tak pernah menjadi pribumi di negeri sendiri, dia selalu menjadi tamu asing dalam mimpinya sendiri....
‘Dia’, yang kecil itu memang pantas dikerdilkan, dicabut hak-haknya sebagai manusia, diredam hasratnya....
keparat!!!

Mimpi


Dan saat semuanya sudah berakhir, Diman hanya mampu terkulai, bersandar pada bayang tubuhnya yang semakin bungkuk. Diusapnya peluh yang membanjiri wajahnya yang lelah. Marsih, istrinya, masih menangis di sudut pembaringan. Tiba-tiba perempuan itu meraung seperti kesurupan. Diambilnya cermin yang menggantung di dinding. Dibanting. Tangannya menyambar sebongkah pecahan kaca. Berlari ke arah Diman yang tak berdaya. Diman tak mampu menghindar. Pecahan kaca itu menancap di dada lelaki kurus itu. Diman menjerit memegangi dadanya yang merah basah. Darah ada di mana-mana....
Jam dua malam. Diman terbangun. Tubuh kurusnya begitu letih. Ditatapnya tajam tubuh Marsih. Perempuan itu sudah lima belas tahun mendampinginya. Selama itu pula mereka masih hidup berdua. Kehadiran buah hati yang didambakan belum juga tiba. Berbagai upaya sudah dilakukan agar mereka merasakan kenormalan sebuah keluarga dengan hadirnya anak-anak yang kelak akan mewarisi harapan-harapan dan impian sederhana yang selama ini terpendam. Diman menarik nafas dalam-dalam. Tatapannya masih meraba seluruh tubuh Marsih. Istrinya masih kelihatan cantik, tubuhnya masih seksi. Rambutnya tergerai di bantal. Ada beberapa helai yang telah memutih, tetapi istrinya masih tetap cantik. Kadang Diman merasa cemburu kalau Marsih digoda anak-anak muda yang nongkrong di jembatan. Bahkan ada yang berani njawil tubuh istrinya. Sebagai seorang suami Diman marah. Dia ingin memukul anak-anak kurang ajar itu. Tetapi ia pendam amarah itu karena sepertinya Marsih menikmati setiap kali digoda. Kini Diman justru marah pada istrinya. Bahkan ada rasa jijik setiap kali melihat istrinya berdandan, menyemir sebagian rambutnya yang memutih. Itu belum seberapa, kemarin Marsih minta diantar ke salon untuk mengecat rambutnya sekalian mandi susu, katanya. Meskipun agak kesal, Diman tak bisa mungkir kalau dia sangat kagum dengan penampilan istrinya akhir-akhir ini. Kulitnya yang masih kencang itu tampak lebih putih dan bersih. Rambutnya yang lurus mayang, kini dibuat kriwil dan dicat pirang. Istrinya lebih mirip Marlyn Monroe, setidaknya kata Parmin, rekan sesama tukang becak yang biasa mangkal di perempatan kota.
Jam dua malam. Diman kembali terbangun. Marsih masih terlelap memeluk bantal guling. Diman menatap erat tubuh istrinya. Dia merasa kasihan. Seharian penuh istrinya bekerja dan baru pulang menjelang dini hari. Sebagai suami sebenarnya Diman tidak rela istrinya ikut membanting tulang memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi tekad Marsih untuk bekerja tidak dapat dibendung apalagi dipadamkan. Diman sudah terlalu bosan mengakhiri setiap perbincangan dengan pertengkaran. Mencegah keinginan istrinya berarti menggelar ajang pertempuran dan Diman paling tidak tahan kalau harus berperang melawan Marsih. Perempuan itu begitu keras kepala. Dengan berat hati akhirnya Diman mengizinkan Marsih bekerja. Lelaki kerempeng itu hanya berharap istrinya menemukan kebahagiaan, entah apapun pekerjaan yang dijalani istrinya. Perlahan diusapnya butiran peluh yang melumuri dahi Marsih. Perempuan itu mendesis. Ingin sekali Diman menyentuh bibir istrinya yang nampak anggun dalam senandung mimpi, melumatnya, tetapi dia tidak berani mengganggu tidur Marsih. ‘Tentunya dia sedang bermimpi tentang rumah semi permanen dengan halaman yang luas, sebuah sepeda motor yang diparkir di dekat pintu dan aku sedang duduk menikmati secangkir kopi di awal pagi’. Mata Diman kembali terpejam.
Jam dua malam. Untuk kesekian kalinya Diman terbangun. Marsih tidak ada. Belum pulang. Diman duduk bersandar di balik pintu, menunggu istrinya pulang. Kekhawatiran mulai menjalar di sudut-sudut angannya. Wajah istrinya terus menari, menambah kerinduan sekaligus ketakutan yang mencekam.’Marsih mungkin tidur di tempat kerjanya, atau di rumah kawan sekerjanya atau mungkin tidur di jalan.’ Diman semakin dihimpit kecemasan. Jam empat pagi Marsih baru pulang, rambutnya acak-acakan. Melempar tas dan langsung tertidur tanpa menyapa suaminya. Diman mengendus bibir istrinya. Aroma minuman keras menebar, menusuk relung hatinya. Diman merasa teriris. Kecurigaan merambati benaknya. ‘Ah, tidak baik terlalu berprasangka. Marsih tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak, dia anak kyai terpandang di desa’. Diman terdiam. ‘Tetapi tidak menutup kemungkinan kecurigaanku benar’ .Akh!. Diman merasa dipermainkan oleh kata hatinya. Diam-diam Diman menyesal tidak bisa mewujudkan mimpi Marsih: Sebuah rumah permanen dengan sepeda motor yang diparkir di dekat pintu dan dia sedang duduk menikmati secangkir kopi di awal pagi. Impian yang sangat mewah untuk seorang tukang becak seperti dia. Diman memejam meredam luka dan dendam..
Jam dua malam. Diman belum tidur dan tak akan tidur. Kecurigaan di kepalanya semakin tajam dan berjubel. ‘Istrimu jadi sundal, Man’ kata-kata Parmin begitu mengusik harga dirinya.’Sebagai lelaki kau tidak boleh diam, tunjukkan bahwa kamu lelaki sejati tidak melempem kayak kerupuk kehujanan’ Telinga Diman semakin panas. Dia meraba punggungnya. Sebilah parang masih terselip di sana. Malam ini juga akan kuhabisi Marsih dan lelaki yang menidurinya. Diman mengendap di balik belukar menunggu Marsih dengan segala dendam, benci, dan kerinduan yang menggumpal di kepalanya. Samar tertangkap dua bayangan yang melangkah gontai dari balik rumpun bambu. Jantung Diman Berdegub kencang. ‘Itu Marsih dengan seorang lelaki. Pasti mereka baru saja berbuat zinah. Dasar pelacur!’. Diman meraba punggungnya. Sebilah parang masih terselip di sana. Mata Diman terus menghunus, membelah pekat malam, menikam bayangan yang berjalan mendekat ke arahnya. Darah Diman mendidih, amarahnya sudah memuncak di ubun-ubun. Tangannya kini menggenggam parang. Dengan cepat dia meloncat dari balik belukar dan langsung membenamkan parangnya ke dada Marsih. Perempuan itu melengking panjang, menggelepar sesaat, kemudian tak bergerak. Darah ada di mana-mana. Diman mencabut parang yang menancap di dada Marsih. Matanya jalang, menerkam tubuh lelaki yang berusaha lari. Lelaki yang telah berani meniduri istrinya, yang telah menginjak-injak harga diri keluarganya, si brengsek yang memisahkan dia dan Marsih. Dengan segenap tenaga, Diman menusukkan parangnya tepat di dada lelaki itu. Darah ada di mana-mana. Lelaki itu tewas seketika.
Diman meraba punggungnya. Sebilah parang masih terselip disana. Tatapannya tajam menyibak pekat malam. Marsih belum nampak. Tiba-tiba melintas dalam benaknya sebuah rumah semi permanen dengan halaman yang luas, sepeda motor yang diparkir di dekat pintu. Marsih begitu ceria menyiram taman bunga di sudut halaman. Sementara dia duduk di serambi depan sambil menikmati secangkir kopi di awal pagi. ‘Dia tak boleh mati, Marsih harus mendapatkan mimpinya.’ Diman tiba-tiba merasa tak berdaya. Kebencian pada marsih menjelma belas kasih dan rindu tak tertahan. ‘Istrimu itu sudah keterlaluan, Man’ Suara Parmin kembali mengusik hatinya. ‘Kan ada pekerjaan lain yang lebih terhormat, bukan menjadi sundal, lonthe. Apa kamu nggak malu punya istri pelacur, perempuan yang mau diajak tidur setiap lelaki. Apa kamu nggak marah melihat tubuh istrimu digerayangi para lelaki. Apa kamu nggak cemburu!’ Kepala Diman seperti mau meledak. ‘Kamu harus bertindak, Man. Jangan sampai kamu dinjak-injak oleh istrimu. Ayo, Man. Kamu kan laki-laki masa nggak bisa berbuat apa-apa, gelem diapusi. Atau jangan-jangan kamu bukan laki-laki?!’. Diman sudah tidak tahan lagi, dia meloncat dari belukar dan berlari dalam gelap. Pidato Parmin terus bergema di telinganya bersamaan dengan rasa rindu yang memuncak pada istrinya. Wajah Marsih dan Parmin muncul silih berganti. Diman terus berlari sambil menenteng parang yang terhunus. Entah berapa jauh sudah Diman menyeret langkahnya. Rembulan di atas jidatnya terus tertawa dan sesekali tenggelam dalam pelukan awan kelam yang berarak. Langkahnya berhenti di perempatan kota. Tempat itu begitu lengang dan remang tak seperti malam biasanya, tidak ada kesibukan dan lalu lalang manusia. Beberapa tikus got sedang mengais sampah yang tercecer di pinggir jalan. Seonggok becak masih parkir di trotoar. Perlahan Diman mendekati becak itu. Parmin begitu pulas terbungkus kain sarung bersandar jok becak. ‘Istrimu jadi sundal, Man!’ Suara Parmin kembali mengusik hati Diman. Lelaki itu sudah tak mampu mengendalikan diri. Sedetik kemudian parangnya sudah menancap di dada Parmin. Parmin maraung. Berkelojotan, kemudian diam bergeming. Darah ada di mana-mana. Diman tersenyum. ‘Sekarang sudah tidak ada lagi yang menghalangi mimpi istriku: rumah semi permanen, sepeda motor yang diparkir di dekat pintu, dan aku duduk menikmati secangkir kopi di awal pagi.’ Diman melangkah pulang dengan penuh kemenangan.
Jam dua malam. Diman terbangun. Ditatapnya lekat wajah istrinya yang masih terlelap di sampingnya. Wajah itu masih cantik, meski ada beberapa helai rambut yang memutih. ‘Pasti dia sedang bermimpi tentang sebuah rumah semi permanen, sepeda motor yang di parkir di dekat pintu dan aku sedang menikmati secangkir kopi di awal pagi.’ Diman kembali terpejam ketika suara Parmin berbisik di telinganya ‘Istrimu jadi sundal, Man!!’ Diman meraba punggungnya.

Jogja, 27 September 2003

(saya gak tahu apakah sudah pernah ada orang yang nulis cerpen kayak gini. Jika ada, sungguh saya tak bemaksud nyontek)

Gerbang

"Aku melihatmu. Kamu sangat cantik. Dan aku merasa takut." kata Vassili kepada Tania ketika mereka menemukan jeda dalam kecamuk perang. Pertemuan itu terjadi di sebuah kereta api yang menuju Stalingrad. Vassili adalah seorang penembak jitu (sniper), yang tidak hanya mampu membidikkan peluru secara akurat ke tengkorak musuh, tetapi dia juga seorang pahlawan. Mungkin juga sesosok model yang menginspirasi Rusia untuk mengubah metode berperang. Selebaran berita pemerintah memuat kisahnya dengan gempita: Seorang anak gembala dari Urals yang mampu menggetarkan Jerman.
Dia jatuh hati pada Tania, gadis rupawan yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Moscow. Tania, gadis yang fasih berbahasa Jerman itu lebih memilih mengokang senjata ketimbang duduk manis di belakang meja sebagai penerjemah. Tentu dia juga jatuh cinta pada Vassili dan menampik cinta Danilov, sahabat Vassili. "Kadang kita cemburu pada tetangga yang beruntung" Danilov masygul. Toh dia akhirnya menyadari bahwa cinta harus memilih. Dan hati Tania hanya dipersembahkan untuk Vassili.
"Doorrr!!" peluru tajam itu melesat, menerobos tengkorak Danilov. Perwira infantri bagian politik itu rebah. Darah deras mangalir dari lubang menganga di kepalanya. Dia berkorban demi cinta yang tertolak. Ia suguhkan kepalanya kepada maut yang mengintai. Maut itu bersembunyi di balik puing pabrik yang poranda: Major Konig, seorang perwira Jerman yang tak jengah memburu Vassili dengan senapan yang menatap tajam.
Kisah tersebut adalah penggalan film Enemy at The Gate. Film yang bertutur tentang heroisme yang konyol. Stalingrad, kota terakhir yang harus dipertahankan menjadi ladang pembantaian yang ganjil. Anak-anak muda Rusia dikirimkan ke sana. Sorot mereka yang lugu berhadapan dengan senapan mesin dan moncong tank. Mereka menjadi pagar hidup. Mayatpun bergelimpang. Burung Nazarpun berpesta.
Semangat, pengkhianatan, ambisi, cinta, dan pengorbanan bertaburan di film ini. Entah mengapa film ini berjudul Enemy at the Gate (?) Apakah isyarat agar kita selalu sak wasangka pada siapapun yang berdiri di pintu gerbang (?) karena yang geming di pintu gerbang selalu memiliki naluri jahat (?) Gerbang memang ambigu: di sana ada ancaman sekaligus harapan. Mereka seolah sosok asing dengan senapan yang dibidikkan. mereka membawa mala. juga kematian; Tetapi yang asing tak selamanya menebar rasa ngeri. Dia juga sebuah harapan. Mungkin dia seseorang yang hadir setelah penantian panjang. Atau seseorang yang berusaha mengetuk pintu untuk menawarkan kesejatian (?)
Dan rasa cinta, kecantikan juga menyimpan rasa takut. "Aku melihatmu. Kamu sangat cantik.Dan aku merasa takut." Kata Vassili kepada Tania. "Aku hanya mampu membayangkan betapa beruntung pemuda yang bisa mendampingimu." Mereka saling menatap. Saling menyublim rasa "takut". "Ternyata akulah pemuda itu!!" Vassili telah membuat kesimpulan. Ada batas yang teramat tipis antara: rasa takut, harapan, dan keajaiban.
"Duuuuuuuuuuuuummmmmmm!!!" ledakan itu terus bersahutan di antara puing berserak dan jiwa yang meregang.

Polok,17 Maret 2006

Gangga

Sentanu tertegun demi memergoki sesosok jelita di tepi Gangga. Hatinya semakin gaduh sesaat setelah sekelebat senyum sang gadis menikamnya. Gadis itu -sebenarnya- adalah penjelmaan Batari Gangga yang menapak ke mayapada untuk menebus dosa para Wasu. Mungkin karena getar cinta. Atau mungkin tersebab daya pesona sang dewi yang agung, Sentanu serta merta jatuh hati. Di tepi sungai Gangga yang hening, Sentanu mengucap ikrar cintanya. Sang dewi tak menampik. Tapi cinta tak selamanya bebas nilai. Ia menyimpan syarat yang harus ditaati. Dan Sentanu, Raja yang tengah dimabuk cinta itu, tak kuasa menolak segala persyatatan yang diajukan sang dewi.
Kini setelah hampir sewindu, Sentanu baru menyadari kealpaannya. Ada yang mesti digugat dari perjanjian di tepi Gangga itu. Raja itu masygul. Sesuatu yang ganjil telah terjadi. Di sebuah pagi yang belia, Gangga, istrinya yang tengah mengandung benihnya pergi ke tepi sungai. Sentanu ingin mencegah. Memprotes. Tapi janji itu terngiang. Seperti suara yang terus menodong. Maka dia cepat-cepat meringkus kegundahannya. Disambutnya sang permaisuri yang kembali tanpa seorang bayi. Tujuh kali kehamilan Gangga selalu berakhir dengan sesuatu yang rahasia. Tak mampu dimengerti.
Persis sewindu ketika Dewi Gangga hamil untuk kali kedelapan, Sentanu memberanikan diri mengikuti permaisurinya menyusuri tepi sungai. Dia ingin menguak rahasia; dia menafikan janji yang sudah diucapkan. Ada sesuatu yang memiriskan hatinya. Beberapa langkah di depannya, di bawah sebatang pohon di tepi Gangga, istrinya tengah menimang seorang bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi yang sangat tampan. Di balik rimbun semak, sebersit bahagia melintas di dada Sentanu. Tapi kebahagiaan itu serta merta sirna saat istrinya bersiap menghanyutkan si jabang bayi. Sentanu sontak melompat menghampiri dewi Gangga dengan kemarahan yang buncah. Dan raja itu tahu, dia sudah melanggar sumpahnya untuk tidak pernah mempertanyakan, apalagi memprotes apapun yang dilakukan dewi Gangga.
Sentanu hanya termangu. Dia telah melanggar sumpahnya. Dan permaisurinya, Dewi Gangga, terbang kembali ke kahyangan bersama anaknya. Dan kelak kita tahu, anak itu akan menjadi ksatria perkasa yang kekuatannya tiada tanding. Dialah Bhisma yang sumpahnya demi kebahagiaan sang ayah, Sentanu, meggetarkan langit. Dia juga ksatria yang paling sedih ketika menyaksikan para keturunan Barata, Pandawa dan Kurawa, saling bunuh di padang Kurusetra. Di padang itu juga lah, Bhisma meregang nyawa setelah ribuan anak panah mencacah tubuhnya.
Seandainya Sentanu, di tepi Gangga itu tidak mencegah istrinya membuang bayinya yang kedelapan, mungkin kisah Mahabarata yang masyhur itu tidak akan memukau. Sebab kisah itu akan kehilangan tokohnya yang paling luar biasa: Bhisma. Terima kasih Sentanu.........

Thursday, 21 June 2007

Yang Sunyi, Yang Rahasia

Kesunyian adalah guru yang sangat bijak. Di dalam sunyi, terangkum segenap keragaman suara. Ia mempersilahkan yang gaduh, juga yang pelan untuk saling menyapa....