Thursday 28 June 2007

Luna


Dia hadir di ujung Desember ketika gerimis mengepung. Wajahnya yang pualam adalah senja di ambang purnama; teduh dan memikat. Dia seorang gadis yang kerap berkisah tentang sekuntum Sakura di awal semi; juga tentang kelebat samurai sebelum sebongkah tubuh ambruk di dalam Shinju.
“Tubuh itu mengejang, berkelojotan kemudian diam” tuturnya dengan mata berkaca.
”dan darah ada di mana-mana.” Kisah itu terus mengalun seperti denting shamisen. mengalir, menikam sunyi yang memenjara. Begitulah sejak saat itu, setiap gerimis memijak dia selalu hadir dan bertutur tentang sekuntum Sakura dan kelebat samurai.
Sudah sangat lama sejak pertama kali ia datang, gadis itu tak pernah jenuh dengan daya tariknya. Ia adalah magnet, yang menarik siapapun ke arah kutubnya yang kuat.
Dan gadis itu tak menyadari sudah sekian lama seorang pemuda memperhatikannya, mengabadikan pesonanya dalam gugup dan ragu. Tetapi Sang pemuda yakin gadis itu hanya hologram yang menyatu dengan ketiadaan; abstrak tak terjamah. Dia bertekad untuk meredam segalanya; mengemas segenap hasrat dan menyimpannya di dalam laci yang terkunci atau menguburnya jauh di palung bumi; membiarkannya sublim bersama pekat dan kehampaan.
Dan sekarang adalah purnama kedelapan ketika Desember kembali menjemput, hasrat sang pemuda tidak pernah koyak. Dia selalu setia pada cintanya, pada pesona yang memencar dari sorot sang gadis.
“Dia begitu senyap” bisik sang pemuda pada purnama yang melotot di balik rumpun bambu di sebuah malam setelah genap sewindu dia memendam rindu.
“Seperti sebuah sore setelah hujan mereda” kali ini dia mendesah.
“Kau yakin?” tiba-tiba purnama merasa terusik oleh kegelisahan pemuda.
“Dia begitu magis!!” sang pemuda geming.
“Kau yakin?” purnama semakin penasaran
“Ya. Tidakkah kau melihat sorot itu? sorot yang menikam. Kau juga harus menyaksikan senyumnya. Senyum yang hening, tetapi begitu memukau”
“Kau yakin?” sela purnama
“Datanglah diujung Desember ketika gerimis mengepung. Kau akan melihat keajaiban itu”
Purnama terbahak kemudian buru-buru melompat ke dalam rumpun bambu. Tinggal sang pemuda seorang diri. Memagut dirinya dalam senyap yang menyergap.
“Benarkah kau lelaki yang selama ini melucuti wajahku?” tiba-tiba gadis itu terpajang di ambang pintu saat Desember kembali berlabuh. Kini wajahnya tidak hanya pualam, tapi juga dilumuri salju. Si pemuda menjerit. Hatinya meronta. Hasratnya tak terbendung lagi.
“Maaf, Nona. Aku tak kuasa untuk tidak menikmati pesona di wajahmu. Aku selalu rindu tatapmu. Juga senyummu yang puitis…aku jatuh cinta padamu!”
“Aku lelah!” tiba-tiba sang gadis mendesah seperti menahan selaksa bah yang nyaris tumpah.
“Cinta datang silih berganti. Beribu wajah hadir menjajah, menawarkan berkeranjang harapan.”
“Aku sangat lelah!” dihembuskannya nafas itu seperti gumpalan gelombang menerjang.
“Dan kau adalah lelaki ke seribu satu yang mencoba menancapkan panah cinta di hatiku. Apakah kau ingin membuatku semakin lelah?” sang pemuda geming. Entah mengapa dia merasa iba. Goresan lelah itu semakin tergambar jelas di sorot mata sang gadis.
“Maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu semakin lelah. Aku hanya ingin menikmati bening tatapanmu kala senja mulai berangkat. Aku ingin menunjukkan pada purnama bahwa ada yang lebih mempesona dari rona indahnya; ada yang lebih membuat jiwaku melayang mengembara: tatapanmu,Nona!!!” Tawa sang gadis buncah membelah senyap.
“Aku sudah kebal dengan segala puja puji basi seperti itu. Seribu lelaki singgah di ruang hidupku. Mereka para pujangga yang menganggap perempuan akan runtuh jiwanya dengan selembar kata mutiara. Apakah kau juga akan berlagak pujangga seperti mereka???”
Pemuda itu diam. Hatinya tersayat. Entah mengapa ada rasa ngeri yang tiba-tiba mengeroyoknya.
“Aku bukan mereka. Aku juga tidak berlagak pujangga. Atau jangan-jangan mereka juga bukan pujangga. Kaulah yang membuat mereka menjadi Dawud, yang kata-katanya penuh sihir para pujangga. Lidahku hanya mewakili kata hati. Kata-kata itu bersemayam di palung hatiku yang terus meronta, berteriak-teriak, berontak. Mulutku tak kuasa menindas mereka. Tak mampu membendung gelombang dahsyatnya. Dan mereka menghambur tak terbendung!”
Sang gadis tertawa. Panjang tanpa jeda. Kemudian dia sirna bersama remang senja yang menyelimut. Hanya sebongkah senyumnya masih tergeletak di pelataran benak sang pemuda. Segera dipungutnya senyum itu, dibungkus dan dibawa lari tanpa henti.
Desember datang silih berganti. Gadis itu tak pernah hadir lagi. Kisahnya sublim bersama kehampaan. Hanya senyumnya yang masih terpajang di setiap sudut kerinduan………….


Kamis sore, 28 Juni 2007

2 comments:

Anonymous said...

ceritanya yang nggak pake darah2 bisa nggak ? *eh kok aku request ya*

Anonymous said...

“Aku sudah kebal dengan segala puja puji basi seperti itu. Seribu lelaki singgah di ruang hidupku. Mereka para pujangga yang menganggap perempuan akan runtuh jiwanya dengan selembar kata mutiara."
kayaknya aku kenal lelaki ini ..wakakaka