Steffy
Aku takkan pernah melupakanmu, Steffy. Kehadiranmu yang tiba-tiba, muncul dari tabung monitor di sebuah senja ketika gerimis merintik, telah menggoreskan jejak tak terhapus. Sejak itu pesonamu merasuk ke dalam aras terdalam lubuk hatiku. Menerbitkan kekonyolan yang sering kumaknai sebagai cinta. Kini, sudah sewindu aku mengenalmu. Satu demi satu kau kirimkan fotomu.
“Kapan kau kirim fotomu untukku?!” protesmu saat kau mengirim fotomu yang keseratus.
“Suatu saat jika moment itu sudah kutemukan!” kilahku diplomatis.
“Kamu gak serius. Tidak pernah serius!” aku mulai mencium aroma kemarahan dari tulisanmu yang tertera di layar monitor. Dan aku bisa memahami.
”Bahkan kau belum pernah cerita tentang dirimu, aktivitasmu,keluargamu,latar belakang kehidupanmu, dan semua yang berhak aku ketahui. Kamu tidak adil, Rud! Akh, jangan-jangan namamu juga bukan Rudi!” Aku hanya geming menatap deretan kata-kata yang terpajang di layar monitor. “Maaf!” jawabku singkat.
“Aku maafkan!” balasmu. Aku membayangkan wajahmu yang bersungut-sungut.
“Kadang aku belum siap menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensialis!”
Kamu tertawa di ujung sana. Entah apa makna tawa itu.
“Ya sudah. Aku tak kuasa memaksamu mengakui kesejatianmu. Aku juga tak mau membayangkan seperti apa rupamu. Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin bertanya satu hal padamu: apakah kamu nyata?!”
Kini tawaku yang meledak. Aku tak pernah membayangkan pertanyaan semacam itu.
“Jangan-jangan kamu hologram!? Hai!! Kok diam??”
“Kamu lucu, Stefy! Mengingatkanku pada Pak Lurah di kampungku yang suka menginterogasi warganya. Hahaha!” godaku
“Gak lucu!! Ayo dong jawab dulu pertanyaanku, Rud!” desakmu
“pentingkah untuk dijawab?”
“sangat penting,Rud!”
“Wahai Stefyku yang lucu, ketahuilah bahwa aku nyata. Kalau gak percaya datang saja kesini. Kau bisa menyentuhku. He..he…he…!”
“Thanks,ya! Jawaban jayusmu sudah cukup. Rud, aku cabut dulu,ya?! Banyak pasien menunggu, nich!”
“Baiklah, Bu dokter, bye!! Miss u”
Begitulah pertemuan maya kita. Dan sejak itu kau tak pernah muncul lagi. Kamu sirna entah kemana.
“Rud…!” Tiba-tiba kau muncul kembali di ruang mayaku setelah setahun pergi tanpa bekas. “Kau masih ingat aku? Sepertinya sudah sangat lama kita tidak saling menyapa. Tentu banyak peristiwa terjadi dalam hidupmu. Maaf, aku lupa meninggalkan kata pamit untukmu. Aku begitu tergesa. Akh! Ceritanya panjang, Rud. Sekarang pun aku harus cepat-cepat pergi. Oi ya, kamu masih mau menyimpan foto-fotoku,kan?!” Kau begitu saja berlalu tanpa menunggu jawabanku. Hanya beberapa lembar foto kau kirimkan. Aku cetak satu persatu fotomu. Kau tampak bahagia. Kau selalu tersenyum di setiap fotomu. Senyummu begitu asli.
Beberapakali kau datang kembali dan pergi dengan penuh gesa. Meninggalkan berlembar-lembar foto yang selalu tersenyum. Sepertinya wajahmu hanya untuk mementaskan teater kebahagiaan. Kini, sudah hampir seribu lembar foto kau kirimkan. Semuanya tersenyum. Semuanya bahagia. Senyummu begitu asli.
“Apakah kau masih menyimpan foto-fotoku?” kembali deretan kata-katamu mengagetkanku. “Rud, aku ingin bertemu denganmu. Ini tidak sekedar keinginan, tapi permohonan. Aku harap kau tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Kehadiranmu sangat berarti untukku. Hanya kamu orang yang mampu mengisi ruang sunyiku. Kaulah yang membuat aku selalu tersenyum. Tak gampang menemukan seseorang seperti dirimu, Rud. Kau begitu sabar mengasuh pertemuan demi pertemuan yang terjadi antara kita. Aku ingin sekali memelukmu. Mengendus aroma tubuhmu. Aku ingin menikmati tatapanmu. Aku ingin merasakan sentuhanmu yang selama ini hanya aku bayangkan. Rud, aku kesepian…!” Kau serta merta pergi setelah meninggalkan secarik pesan: alamatmu. Tiba-tiba aku tersentak membacanya. Ada yang bergemuruh dalam dadaku. Kuaduk-aduk lagi foto-fotomu yang menumpuk di meja kerjaku. Foto itu kini hanya berupa lembaran-lembaran kosong. Tiba-tiba pandanganku juga menjadi kosong. Pekat…………..
Pogung, 25 Juni 2007
“Kapan kau kirim fotomu untukku?!” protesmu saat kau mengirim fotomu yang keseratus.
“Suatu saat jika moment itu sudah kutemukan!” kilahku diplomatis.
“Kamu gak serius. Tidak pernah serius!” aku mulai mencium aroma kemarahan dari tulisanmu yang tertera di layar monitor. Dan aku bisa memahami.
”Bahkan kau belum pernah cerita tentang dirimu, aktivitasmu,keluargamu,latar belakang kehidupanmu, dan semua yang berhak aku ketahui. Kamu tidak adil, Rud! Akh, jangan-jangan namamu juga bukan Rudi!” Aku hanya geming menatap deretan kata-kata yang terpajang di layar monitor. “Maaf!” jawabku singkat.
“Aku maafkan!” balasmu. Aku membayangkan wajahmu yang bersungut-sungut.
“Kadang aku belum siap menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensialis!”
Kamu tertawa di ujung sana. Entah apa makna tawa itu.
“Ya sudah. Aku tak kuasa memaksamu mengakui kesejatianmu. Aku juga tak mau membayangkan seperti apa rupamu. Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin bertanya satu hal padamu: apakah kamu nyata?!”
Kini tawaku yang meledak. Aku tak pernah membayangkan pertanyaan semacam itu.
“Jangan-jangan kamu hologram!? Hai!! Kok diam??”
“Kamu lucu, Stefy! Mengingatkanku pada Pak Lurah di kampungku yang suka menginterogasi warganya. Hahaha!” godaku
“Gak lucu!! Ayo dong jawab dulu pertanyaanku, Rud!” desakmu
“pentingkah untuk dijawab?”
“sangat penting,Rud!”
“Wahai Stefyku yang lucu, ketahuilah bahwa aku nyata. Kalau gak percaya datang saja kesini. Kau bisa menyentuhku. He..he…he…!”
“Thanks,ya! Jawaban jayusmu sudah cukup. Rud, aku cabut dulu,ya?! Banyak pasien menunggu, nich!”
“Baiklah, Bu dokter, bye!! Miss u”
Begitulah pertemuan maya kita. Dan sejak itu kau tak pernah muncul lagi. Kamu sirna entah kemana.
“Rud…!” Tiba-tiba kau muncul kembali di ruang mayaku setelah setahun pergi tanpa bekas. “Kau masih ingat aku? Sepertinya sudah sangat lama kita tidak saling menyapa. Tentu banyak peristiwa terjadi dalam hidupmu. Maaf, aku lupa meninggalkan kata pamit untukmu. Aku begitu tergesa. Akh! Ceritanya panjang, Rud. Sekarang pun aku harus cepat-cepat pergi. Oi ya, kamu masih mau menyimpan foto-fotoku,kan?!” Kau begitu saja berlalu tanpa menunggu jawabanku. Hanya beberapa lembar foto kau kirimkan. Aku cetak satu persatu fotomu. Kau tampak bahagia. Kau selalu tersenyum di setiap fotomu. Senyummu begitu asli.
Beberapakali kau datang kembali dan pergi dengan penuh gesa. Meninggalkan berlembar-lembar foto yang selalu tersenyum. Sepertinya wajahmu hanya untuk mementaskan teater kebahagiaan. Kini, sudah hampir seribu lembar foto kau kirimkan. Semuanya tersenyum. Semuanya bahagia. Senyummu begitu asli.
“Apakah kau masih menyimpan foto-fotoku?” kembali deretan kata-katamu mengagetkanku. “Rud, aku ingin bertemu denganmu. Ini tidak sekedar keinginan, tapi permohonan. Aku harap kau tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Kehadiranmu sangat berarti untukku. Hanya kamu orang yang mampu mengisi ruang sunyiku. Kaulah yang membuat aku selalu tersenyum. Tak gampang menemukan seseorang seperti dirimu, Rud. Kau begitu sabar mengasuh pertemuan demi pertemuan yang terjadi antara kita. Aku ingin sekali memelukmu. Mengendus aroma tubuhmu. Aku ingin menikmati tatapanmu. Aku ingin merasakan sentuhanmu yang selama ini hanya aku bayangkan. Rud, aku kesepian…!” Kau serta merta pergi setelah meninggalkan secarik pesan: alamatmu. Tiba-tiba aku tersentak membacanya. Ada yang bergemuruh dalam dadaku. Kuaduk-aduk lagi foto-fotomu yang menumpuk di meja kerjaku. Foto itu kini hanya berupa lembaran-lembaran kosong. Tiba-tiba pandanganku juga menjadi kosong. Pekat…………..
Pogung, 25 Juni 2007
2 comments:
Cerita pengalama chatting ya! Kayak cerita hantu. Alamat yg dikasih alamat kramat ya.
Steffy begitu nyata...
Post a Comment