Dan saat semuanya sudah berakhir, Diman hanya mampu terkulai, bersandar pada bayang tubuhnya yang semakin bungkuk. Diusapnya peluh yang membanjiri wajahnya yang lelah. Marsih, istrinya, masih menangis di sudut pembaringan. Tiba-tiba perempuan itu meraung seperti kesurupan. Diambilnya cermin yang menggantung di dinding. Dibanting. Tangannya menyambar sebongkah pecahan kaca. Berlari ke arah Diman yang tak berdaya. Diman tak mampu menghindar. Pecahan kaca itu menancap di dada lelaki kurus itu. Diman menjerit memegangi dadanya yang merah basah. Darah ada di mana-mana....
Jam dua malam. Diman terbangun. Tubuh kurusnya begitu letih. Ditatapnya tajam tubuh Marsih. Perempuan itu sudah lima belas tahun mendampinginya. Selama itu pula mereka masih hidup berdua. Kehadiran buah hati yang didambakan belum juga tiba. Berbagai upaya sudah dilakukan agar mereka merasakan kenormalan sebuah keluarga dengan hadirnya anak-anak yang kelak akan mewarisi harapan-harapan dan impian sederhana yang selama ini terpendam. Diman menarik nafas dalam-dalam. Tatapannya masih meraba seluruh tubuh Marsih. Istrinya masih kelihatan cantik, tubuhnya masih seksi. Rambutnya tergerai di bantal. Ada beberapa helai yang telah memutih, tetapi istrinya masih tetap cantik. Kadang Diman merasa cemburu kalau Marsih digoda anak-anak muda yang nongkrong di jembatan. Bahkan ada yang berani njawil tubuh istrinya. Sebagai seorang suami Diman marah. Dia ingin memukul anak-anak kurang ajar itu. Tetapi ia pendam amarah itu karena sepertinya Marsih menikmati setiap kali digoda. Kini Diman justru marah pada istrinya. Bahkan ada rasa jijik setiap kali melihat istrinya berdandan, menyemir sebagian rambutnya yang memutih. Itu belum seberapa, kemarin Marsih minta diantar ke salon untuk mengecat rambutnya sekalian mandi susu, katanya. Meskipun agak kesal, Diman tak bisa mungkir kalau dia sangat kagum dengan penampilan istrinya akhir-akhir ini. Kulitnya yang masih kencang itu tampak lebih putih dan bersih. Rambutnya yang lurus mayang, kini dibuat kriwil dan dicat pirang. Istrinya lebih mirip Marlyn Monroe, setidaknya kata Parmin, rekan sesama tukang becak yang biasa mangkal di perempatan kota.
Jam dua malam. Diman kembali terbangun. Marsih masih terlelap memeluk bantal guling. Diman menatap erat tubuh istrinya. Dia merasa kasihan. Seharian penuh istrinya bekerja dan baru pulang menjelang dini hari. Sebagai suami sebenarnya Diman tidak rela istrinya ikut membanting tulang memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi tekad Marsih untuk bekerja tidak dapat dibendung apalagi dipadamkan. Diman sudah terlalu bosan mengakhiri setiap perbincangan dengan pertengkaran. Mencegah keinginan istrinya berarti menggelar ajang pertempuran dan Diman paling tidak tahan kalau harus berperang melawan Marsih. Perempuan itu begitu keras kepala. Dengan berat hati akhirnya Diman mengizinkan Marsih bekerja. Lelaki kerempeng itu hanya berharap istrinya menemukan kebahagiaan, entah apapun pekerjaan yang dijalani istrinya. Perlahan diusapnya butiran peluh yang melumuri dahi Marsih. Perempuan itu mendesis. Ingin sekali Diman menyentuh bibir istrinya yang nampak anggun dalam senandung mimpi, melumatnya, tetapi dia tidak berani mengganggu tidur Marsih. ‘Tentunya dia sedang bermimpi tentang rumah semi permanen dengan halaman yang luas, sebuah sepeda motor yang diparkir di dekat pintu dan aku sedang duduk menikmati secangkir kopi di awal pagi’. Mata Diman kembali terpejam.
Jam dua malam. Untuk kesekian kalinya Diman terbangun. Marsih tidak ada. Belum pulang. Diman duduk bersandar di balik pintu, menunggu istrinya pulang. Kekhawatiran mulai menjalar di sudut-sudut angannya. Wajah istrinya terus menari, menambah kerinduan sekaligus ketakutan yang mencekam.’Marsih mungkin tidur di tempat kerjanya, atau di rumah kawan sekerjanya atau mungkin tidur di jalan.’ Diman semakin dihimpit kecemasan. Jam empat pagi Marsih baru pulang, rambutnya acak-acakan. Melempar tas dan langsung tertidur tanpa menyapa suaminya. Diman mengendus bibir istrinya. Aroma minuman keras menebar, menusuk relung hatinya. Diman merasa teriris. Kecurigaan merambati benaknya. ‘Ah, tidak baik terlalu berprasangka. Marsih tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak, dia anak kyai terpandang di desa’. Diman terdiam. ‘Tetapi tidak menutup kemungkinan kecurigaanku benar’ .Akh!. Diman merasa dipermainkan oleh kata hatinya. Diam-diam Diman menyesal tidak bisa mewujudkan mimpi Marsih: Sebuah rumah permanen dengan sepeda motor yang diparkir di dekat pintu dan dia sedang duduk menikmati secangkir kopi di awal pagi. Impian yang sangat mewah untuk seorang tukang becak seperti dia. Diman memejam meredam luka dan dendam..
Jam dua malam. Diman belum tidur dan tak akan tidur. Kecurigaan di kepalanya semakin tajam dan berjubel. ‘Istrimu jadi sundal, Man’ kata-kata Parmin begitu mengusik harga dirinya.’Sebagai lelaki kau tidak boleh diam, tunjukkan bahwa kamu lelaki sejati tidak melempem kayak kerupuk kehujanan’ Telinga Diman semakin panas. Dia meraba punggungnya. Sebilah parang masih terselip di sana. Malam ini juga akan kuhabisi Marsih dan lelaki yang menidurinya. Diman mengendap di balik belukar menunggu Marsih dengan segala dendam, benci, dan kerinduan yang menggumpal di kepalanya. Samar tertangkap dua bayangan yang melangkah gontai dari balik rumpun bambu. Jantung Diman Berdegub kencang. ‘Itu Marsih dengan seorang lelaki. Pasti mereka baru saja berbuat zinah. Dasar pelacur!’. Diman meraba punggungnya. Sebilah parang masih terselip di sana. Mata Diman terus menghunus, membelah pekat malam, menikam bayangan yang berjalan mendekat ke arahnya. Darah Diman mendidih, amarahnya sudah memuncak di ubun-ubun. Tangannya kini menggenggam parang. Dengan cepat dia meloncat dari balik belukar dan langsung membenamkan parangnya ke dada Marsih. Perempuan itu melengking panjang, menggelepar sesaat, kemudian tak bergerak. Darah ada di mana-mana. Diman mencabut parang yang menancap di dada Marsih. Matanya jalang, menerkam tubuh lelaki yang berusaha lari. Lelaki yang telah berani meniduri istrinya, yang telah menginjak-injak harga diri keluarganya, si brengsek yang memisahkan dia dan Marsih. Dengan segenap tenaga, Diman menusukkan parangnya tepat di dada lelaki itu. Darah ada di mana-mana. Lelaki itu tewas seketika.
Diman meraba punggungnya. Sebilah parang masih terselip disana. Tatapannya tajam menyibak pekat malam. Marsih belum nampak. Tiba-tiba melintas dalam benaknya sebuah rumah semi permanen dengan halaman yang luas, sepeda motor yang diparkir di dekat pintu. Marsih begitu ceria menyiram taman bunga di sudut halaman. Sementara dia duduk di serambi depan sambil menikmati secangkir kopi di awal pagi. ‘Dia tak boleh mati, Marsih harus mendapatkan mimpinya.’ Diman tiba-tiba merasa tak berdaya. Kebencian pada marsih menjelma belas kasih dan rindu tak tertahan. ‘Istrimu itu sudah keterlaluan, Man’ Suara Parmin kembali mengusik hatinya. ‘Kan ada pekerjaan lain yang lebih terhormat, bukan menjadi sundal, lonthe. Apa kamu nggak malu punya istri pelacur, perempuan yang mau diajak tidur setiap lelaki. Apa kamu nggak marah melihat tubuh istrimu digerayangi para lelaki. Apa kamu nggak cemburu!’ Kepala Diman seperti mau meledak. ‘Kamu harus bertindak, Man. Jangan sampai kamu dinjak-injak oleh istrimu. Ayo, Man. Kamu kan laki-laki masa nggak bisa berbuat apa-apa, gelem diapusi. Atau jangan-jangan kamu bukan laki-laki?!’. Diman sudah tidak tahan lagi, dia meloncat dari belukar dan berlari dalam gelap. Pidato Parmin terus bergema di telinganya bersamaan dengan rasa rindu yang memuncak pada istrinya. Wajah Marsih dan Parmin muncul silih berganti. Diman terus berlari sambil menenteng parang yang terhunus. Entah berapa jauh sudah Diman menyeret langkahnya. Rembulan di atas jidatnya terus tertawa dan sesekali tenggelam dalam pelukan awan kelam yang berarak. Langkahnya berhenti di perempatan kota. Tempat itu begitu lengang dan remang tak seperti malam biasanya, tidak ada kesibukan dan lalu lalang manusia. Beberapa tikus got sedang mengais sampah yang tercecer di pinggir jalan. Seonggok becak masih parkir di trotoar. Perlahan Diman mendekati becak itu. Parmin begitu pulas terbungkus kain sarung bersandar jok becak. ‘Istrimu jadi sundal, Man!’ Suara Parmin kembali mengusik hati Diman. Lelaki itu sudah tak mampu mengendalikan diri. Sedetik kemudian parangnya sudah menancap di dada Parmin. Parmin maraung. Berkelojotan, kemudian diam bergeming. Darah ada di mana-mana. Diman tersenyum. ‘Sekarang sudah tidak ada lagi yang menghalangi mimpi istriku: rumah semi permanen, sepeda motor yang diparkir di dekat pintu, dan aku duduk menikmati secangkir kopi di awal pagi.’ Diman melangkah pulang dengan penuh kemenangan.
Jam dua malam. Diman terbangun. Ditatapnya lekat wajah istrinya yang masih terlelap di sampingnya. Wajah itu masih cantik, meski ada beberapa helai rambut yang memutih. ‘Pasti dia sedang bermimpi tentang sebuah rumah semi permanen, sepeda motor yang di parkir di dekat pintu dan aku sedang menikmati secangkir kopi di awal pagi.’ Diman kembali terpejam ketika suara Parmin berbisik di telinganya ‘Istrimu jadi sundal, Man!!’ Diman meraba punggungnya.
Jogja, 27 September 2003
(saya gak tahu apakah sudah pernah ada orang yang nulis cerpen kayak gini. Jika ada, sungguh saya tak bemaksud nyontek)